"Ro ...! Rohana ...! " Tiada sahutan dari dalam. "Kemana gerangan isteriku tercinta," gumam pria yang biasa disapa Erwin itu.
Dijelajahinya setiap ruangan, dari kamar sampai ke dapur. Tiada tanda-tanda kehidupan. Selain 2 ekor anak kucing meang meong menyambut kapulangan pria 30 tahun itu. Tidak biasanya Rohana begitu. Suaminya pulang dari kebun dia tak di rumah.
Pintu tidak terkunci, jendela tiada ditutup. Menu makan malam tersaji lengkap di meja makan.
Erwin ngomong sendiri, "Barangkali dia ke rumah ibunya. Lupa mengunci pintu. Ya sudah. Sebentar juga pulang."
Ashar berganti Maghrib, Rohana belum juga datang. Erwin menyusul ke tempat mertuanya.
"Udah seminggu isterimu tidak ke sini. Apa kalian bertengkar?" tanya ibu mertuanya.
"Tidak Bu. Ibu tahu sendiri? Dua belas tahun saya dan Rohana menikah, belum pernah kami saling bantah. Apalagi cek cok."
Erwin panik. Dicarinya informasi pada para tetangga, tiada satu pun jawaban yang memberi petunjuk di mana keberadaan Rohana. Maklum zaman itu, alat komunikasi belum masuk desa.
Erwin tak habis pikir kenapa jadi begini. Selama dia dan Rohana berumah tangga, belum ada tindakan dan perkataannya yang menyakiti istrinya itu. Mereka tampak mesra dan aman-aman saja. Ke mana-mana selalu berdua. Ke kota, mengunjungi keluarga, kecuali pergi ke sawah dan ke ladang.
Begitu pula Rohana. Seperti biasa, tadi pagi dia masih mengantarkan Erwin sampai di halaman. Tersenyum dan berpesan mesra agar suaminya itu cepat pulang.
Kegelisahan Erwin memuncak, setelah dia tahu Rohana membawa beberapa lembar pakaiannya. Uang sisa belanja yang selama ini dia simpan masih utuh. Sesuai dengan jumlah yang dilaporkannya tadi malam.