Lihat ke Halaman Asli

Nursini Rais

TERVERIFIKASI

Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Puisi: Garis Hidup

Diperbarui: 18 Juni 2020   06:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi, Foto NURSINI RAIS

Dua ratus hari kau tinggalkan aku, rindu ini semakin menggebu. Ingin kukabarkan padamu berita gembira berbumbu nestapa.

Bibit cinta yang kau semaikan,  kini telah berdaun dua. Namun, tumbuhnya di padang pasir terdedah kemarau.  Putik pun belum tentu menjadi buah. Aku bahagia di antara pedihnya luka yang berdarah.  

Saat-saat begini aku butuh tangan kekarmu, melepaskan aku dari kejamnya takdir, melipur lara dikala gulana, menghapus pipiku saat mata ini basah.

Pulanglah! Ketuklah  pintu, panggil namaku! Walau hanya dalam mimpi. Aku, dan tiga malaikat kecil kita rindu senyummu,  rindu aroma tubuhmu,  rindu belaianmu, rindu keikhlasan kasih sayangmu.  

Kita bukan keluarga berada. Tapi, sepuluh tahun kebersamaanku dan kamu, dua musim cinta kita berbuah, kau didik aku menjadi manja. Kuangkat cucian, “Itu bukan urusanmu.” Kupegang sapu, “Habis  lahiran perempuan harus istirahat total.”

Kini tiada lagi nada-nada itu merayu. Yang ada hanya ruang hampa. Ditingkahi detak sepatu wanita-wanita cantik berseragam putih, yang  menoreh keheningan malam.  

Mereka merawat aku dan bayi cantik kita dengan hati. Melebihi perhatiannya kepada penghuni lain di ruang berdinding  putih ini. Seakan mereka hafal  hiruk pikuk pasar malam di kepalaku.

Bukan salah siapa-siapa. Bukan kelalaian kamu, bukan pula kehendak aku. Garis hiduplah yang menentukan sesar  adalah jalan terakhir. Tersenyumlah, tutuplah matamu, istihatlah di surgaNya. Suatu saat kita pasti berjumpa di alam yang sama.

****

Ditulis di Pinggir Danau Kerinci, 18/06/2020

Hj. Nursini Rais.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline