"Orang dusun kami menyebutnya 'ahan'. Ketika ikannya lagi musim, sekali pagi satu ahan beroleh sampai enam puluh kilo."
Demikian pemuda berwajah lugu itu menjawab pertanyaan saya. Kemudian dia pergi.
Sigap naluri saya merefleks. Waeih, enam puluh kilo ikan? Jika dikali Rp60.000 bisa dapat 3,6 juta. Kalau ahan-nya ada sepuluh, pemiliknya berpenghasilan 36 juta. Andai ada dua puluh dan seterusnya dan seterusnya. Gila.
Dialog di atas berawal dari penasaran saya terhadap suatu pemandangan tak biasa, di atas permukaan air sekitar Jembatan Sanggaran agung Danau Kerinci, Provinsi Jambi. Sepintas benda tersebut terlihat seperti perahu mainan anak-anak. Jumlahnya puluhan bahkan mungkin ratusan.
Usai percakapan dengan pemuda barusan, saya pulang membawa pertanyaan yang sudah terjawab. Tetapi di luar logika. Mosok seorang nelayan tradisional berpenghasilan 36 juta per hari?. Lebay.
Saya abaikan angka 36 juta tadi. Fokus pada rasa ingin tahu, siapa pertama kali menciptakan alat tangkap aneh itu. Keberadaannya membuat lingkungan sekitar kurang sedap dipandang.
Empat puluh tiga tahun saya berdomisili di rantau ini, baru sekali ketemu benda yang bernama ahan tersebut.
Besoknya saya ajak cowok gantengku naik motor menyusuri sungai Merangin yang berhulu dari Danau Kerinci itu. Alirannya sejalur dengan jalan raya Kerinci-Jambi.
Di sepanjang badan sungai (kiri kanan), tampak ahan memutih seperti bungkusan kain yang akan dicuci. Saya berceloteh, "Banyak pulak ahan ketimbang ikannya." Kami tertawa.
Kurang lebih 5 kilometer meniti jalan, saya dan suami sampai di Desa Pengasi. Terus singgah di sebuah pondok milik Pak Rambo (55) mantan tetangga kami. Posisinya persis di bibir sungai.
Di sanalah saya memperoleh informasi panjang lebar tentang alat tangkap yang muncul sebulan terakhir ini.
Pak Rambo mengawali penjelasannya. "Bukan perangkap ikan Bu. Udang lobster. Di bawahnya dipasang lukah, yang diberi umpan ampas kelapa," tambahnya.