Akhir-akhir ini, angka perceraian di negeri ini cukup meresahkan. Pelakunya dari semua kalangan. Mulai masyarakat akar rumput sampai ke publik figur jutaan pengikut.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, dalam kurun 3 tahun pasangan yang bercerai di Indonesia sebagai berikut, 2015=353.843, 2016=365.654, dan 2017=374.516. Dari data tersebut, bisa ditaksir, terjadi satu perceraian dalam setiap lima pernikahan. (kumparannews, 28/10/2019).
Selanjutnya, dikutip oleh detikcom dari website Mahkamah Agung (MA), Rabu (3/4/2019), sepanjang 2018 terjadi perceraian sebanyak 419.268. Angka yang tidak kecil. Mendekati setengah juta. Meningkat 44.752 dari tahun 2017.
Perceraian itu identik dengan perseteruan. Tanpa berseteru tak mungkin suami isteri itu berpisah. Mirisnya, pascaperceraian, keduanya merasa menang karena telah berhasil mempertahankan egonya masing-masing. Yang menjadi korban, adalah anak-anaknya. Terutama jika mereka masih kecil-kecil. Belum selayaknya ikut menanggung beban atas konflik yang diciptakan oleh kedua manusia dewasa tersebut.
Andai bocah-bocah tak berdosa itu boleh bersuara, mereka pasti berteriak, "Aduh Emak ...! Aduh Bapak ...! Jangan bercerai!"
Efek perceraian orangtua itu maha dahsyat dan sangat menyakitkatkan bagi anak-anak.
Parahnya, belum lama bercerai pemegang hak asuh anaknya menikah lagi (katakanlah dia sosok ibu).
Inilah momen paling menyedihkan bagi anak-anak. Siapa yang tidak kecewa. Belum lama kehilangan kasih sayang ayah, ibunya dirampas lelaki lain. Luka lama belum bertaut, luka baru menganga lagi. Meskipun sebenarnya cinta sang ibu kepada putra-putrinya tak pernah tergerus oleh apapun, kekhawatiran dan kecemburun itu pasti dirasakan oleh anak-anak.
Semasa muda, saya pernah mencibir seorang sahabat dalam hati. Pasalnya belum sebulan punya suami baru, dia bertutur, "Suamiku yang ini baek, lho. Sayang pada -anak-anakku. Dikasih uang jajan, diajak naik motor, bla, bla .... Anak-anak juga senang. Mereka malah lebih dekat dengan bapak barunya ketimbang ayah kandungnya sendiri."
Bagi saya, certa karibku itu adalah sebuah sandiwara. Judulnya "dipaksa-paksakan". Suami baru dipaksa menjadi baik, anak-anaknya dipaksakan ngaku senang.
Jujur. Saya sudah melewatinya saat usia 5 tahun. Sebaik apapun seorang bapak tiri, awal-awalnya rasa shock dan sentimen itu pasti ada. Kenapa? Ya, kerena emak saya ditiduri pria lain. Bukan sama ayah kandung saya.