Lihat ke Halaman Asli

Nursini Rais

TERVERIFIKASI

Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Mengenang Perjuangan Menembus Negeri Jiran

Diperbarui: 3 November 2019   07:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumer ilustrasi: m.jpnn.com

Diakui atau tidak, cucuran keringat TKI Malaysia telah membawa perbaikan dalam perekonomian sebagian rakyat pedesaan. Khususnya masyarakat desa-desa di sekitar saya berdomisili sekarang.

Saya masuk ke rantau ini November 1977. Saat itu kehidupan rakyat hanya mengandalkan turun ke sawah sekali  setahun. Maklum, petani kampung belum mengenal pupuk dan bibit unggul.

Tahun 1979, satu persatu warga setempat mengadu peruntungan ke Malaysia. Dari anak gadis, anak bujang, sampai ke duda, janda muda dan tua. Banyak juga suami meninggalkan keluarga. Yang memboyong anak isteri pun tidak sedikit.

Untuk sampai ke Malaysia para imigran tersebut menempuh perjuangan berat yang luar biasa. Umumnya mereka tidak dilengkapi dokumen yang syah.

Dengan membayar sejumlah uang, para petualang tersebut dibawa ke daerah Riau melalui oknum yang disebut tekong.

Berikut kisah dari pelaku dan saksi hidup yang saya wawancarai dua  hari lalu. Beliau adalah Ibu Nurlela, mantan TKI ilegal yang sekarang menetap di kampung karena sudah unzur.

 "Pertama saya ke Malysia tahun 1993.   Dari Pekanbaru kami 28 0rang numpang kapal sayur ke Tanjung Samak, Kepulauan Meranti Riau," katanya membuka pembicaraan. "Di sana rombongan ditampung di rumah bos, (tekong ke dua, red). Bergabung dengan puluhan calon penyelundup dari berbagai daerah, menunggu situasi aman dari mata-mata petugas," tambahnya.  

"Sebulan kemudian baru diberangkatkan. Ini perjuangan hidup-hidup mati, Bu," kata nenek 74 tahun itu.  "Habis Maghrib naik kapal dari Tanjung Samak. Saya kira langsung diantar ke Malaysia. Ternyata tidak.  

"Pukul 03 dini hari kami disinggahkan di sebuah pulau kecil tak berpenghuni. Tetapi seluruh penumpang turun jauh sebelum sampai ke daratan. Kemudian ramai-ramai berenang dengan pakain di badan. Barang bawaan dijujung di kepala. Anak kecil digendong orangtuanya. Entah berapa puluh meter jaraknya dari bibir pantai saya tak ingat lagi. Kedalaman airnya sebatas dada," kenangnya.

 "Pagi temaram, kami dijemput  dengan speed boat. Sampai di sebuah pantai, jalan kaki lagi kira-kira 2 km melewati semak-semak, menuju rumah tekong ke 3.

Ibu Nurlela. Dokumentasi pribadi.

"Artinya sudah masuk wilayah Malaysia?" tanya saya.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline