Lihat ke Halaman Asli

Nursini Rais

TERVERIFIKASI

Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Mengintip Ritual Pernikahan "Tergila" dari Desa ke Mancanegara

Diperbarui: 6 Oktober 2019   20:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi pribadi

Setelah puluhan tahun alpa, Kamis 03 oktober lalu saya berkesempatan hadir pada acara pernikahan di kampung halaman. Ternyata, di tengah derasnya arus modernisasi, tradisi lama masih dipertahankan.

Yang tenggelam dari permukaan adalah cerita mengintip gawean pengantin pada malam pertama. Ritual ini dilakukan oleh ibu pengantin perempuan. Tujuannya untuk mengetahui apakah sang anak siap melayani suaminya berhubungan intim atau tidak. 

Kalau tidak siap, besoknya si anak akan ditegor. Jika malam ke dua dan seterusnya tetap membandel, dia akan dimarahi bahkan sampai dipukul oleh Emaknya. 

Upaya ini dilakukan untuk memperoleh informasi berhasil tidaknya orangtua mengantar anak perempuannya melewati gerbang menuju rumah tangga barunya.

Ini cerita nenek-nenek dahulu kala. Zaman kini, ibarat ayam jantan lagi mengasah taji. Belum diadu pun mereka sudah berlaga duluan. He he ....

Tahun enam puluhan kondisinya sedikit berbeda. Emak pengantin perempuan tak lagi menyelinap di bawah ranjang. Cukup memantau kondisi dalam keseharian saja. Misalnya menanyakan pada pengantin perempuan, apakah malam pertamanya sudah jebol atau belum.

Sering emak-emak tetangga usilan begini, "Gimana kabarnya si Anu? Sayangkah dia sama lakinya?"

Pertanyaan ini jamak ditujukan kepada orangtua yang beberapa hari usai menikahkan putri tercintanya. Sebab, saat itu banyak kasus membuat orangtua mengelus dada. Belum  dua bulan usia perkawinan, pengantin pria kabur tersebab tidak memperoleh haknya sebagai suami. Bahkan bagi lelaki yang kurang sabar, dalam hitungan minggu saja dia sudah kembali ke rumah orangtuanya.

Padahal, untuk menggelar hajad pernikahan, para orang tua telah mengeluarkan dana yang tidak sedikit.

Ini dampak dari pernikahan anak perempuan di bawah umur. Mereka dijodohkan pada usia yang relatif anak-anak. Antara 12-14 tahun. Setelah lulus Sekolah Rakyat/Sekolah Dasar belum ketemu jodoh, sang gadis dikategorikan perawan tak laku. Benar-benar gila.

Sebagai bahan perbandingan, yuk kita ke manca negara, mengintip bagaimana gilanya tradisi pernikahan di belahan dunia lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline