Mendekor ruangan adalah salah satu persiapan penting untuk suksesnya sebuah acara pernikahan. Tradisi ini berlaku dari dahulu hingga sekarang, dari desa sampai ke kota.
Era 60-an, kegiatan ini dikerjakan oleh sanak keluarga dan para tetangga. Perangkat yang digunakan pun seadanya. Dinding-dinding rumah bagian dalam dibalut pakai kain panjang. Langit-langitnya ditutup menggunakan tabir, yaitu lembaran kain terbuat dari sambungan perca beraneka warna.
Zaman saya, dalam satu kampung hanya satu yang punya tabir. Siapapun yang minjam, dikasih gratis.
Pelaminan jarang terlihat. Walaupun ada, konsepnya amat sederhana dan dinikmati oleh golongan tertentu saja.
Kini zaman telah modern. Gaya hidup masyarakat pun berubah drastis. Mau nikahan? Pernak-pernik pesta tinggal order. Tunggu di alamat, siap pasang dan siap pakai. Mulai gedung, pelaminan, baju pengantin yang dikenakan pada hari "H"-nya, baju akad nikah, juru rias, sampai ke musik dan peralatan konsumsi.
Banyak duit? Pilih yang bagus kualitas super. Anggaran sedikit? Solusinya ngirit. Pesan yang murah, tapi tak murahan. Di tempat saya malah boleh nyewa sebagian (tidak satu set penuh). Bisa diselaraskan dengan isi kantong. Saya yakin, hal serupa berlaku di seluruh tanah air.
Namun tiga hari lalu, ketika menghadiri acara akad nikah di sebuah desa, saya dihadapkan pada pemandangan tak lazim. Dinding ruangannya hias apik dengan ornamen klasik.
Masyarakat setempat menyebutnya "pnteh". Yaitu, dekorasi kreatif bernuansa tradisional yang dianyam dari kain panjang batik beraneka motif. Belum saya peroleh penjelasan, apa sebenarnya makna kata penteh. Setiap ditanya, mereka yang di sana menjawab, "Penteh ya, penteh." Ya, sudah.
Dekoran begini hanya dapat dijumpai di Desa Hiang, Sitinjau Laut, Kabupaten Kerinci, Jambi.
Tak terkira banyaknya jumlah kain panjang yang dibutuhkan. Terlebih ruangan yang saya masuki kemarin nyaris segede musala.
Sepintas terlihat agak rumit. Untuk menjalinnya pasti butuh tangan-tangan terampil.