Saya lahir dengan gendre perantau. Hal ini bukan tanpa alasan. Lingkungan telah membesarkan saya dalam kondisi begitu.
Zaman saya kecil, pergi merantau merupakan trendi bagi pemuda kampung yang berpendidikan. Apabila lulus sekolah, jangan harap mereka tetap di kampung. Meskipun yang bersangkutan hanya lulusan Sekolah Rakyat. Dasar anak Minang. Seseorang belum dikatakan hebat sebelum dia merantau.
Negeri tujuannya tidak jauh-jauh. Paling-paling ke kota Padang dan bekerja sebagai anak buah kapal. Ceritanya, mereka berlayar ke Pulau Pagai, Mentawai, Sibolga, ada juga ke Pulau Jawa dan pulau lainnya.
Sementara anak gadis, sangat tabu meninggalkan kampung. Kecuali ikut orangtua, saudara, atau suami. Tradisi ini ditaati oleh semua anak cewek tanpa kecuali.
Namun, bawaan petualang saya tak pernah padam. Justru semakin membara ketika menyaksikan anak rantau pulang sekali-sekali. Gayanya minta ampun. Kulitnya bersih, pakaiannya rapi. Saya berpikir, hidup di rantau itu enak.
Selain anak laki-laki, ada pula keluarga saya yang tinggal di Riau. Dia ikut suaminya yang bekerja di PT Caltex. Sebuah perusahaan asing yang mengelola pertambangan.
Ketika dia sekeluarga pulang kampung, Emaak ...! Mata saya terbelalak melihat gaya hidupnya bergelimang uang dan kemewahan.
Sedangkan saya, semasa itu tinggal bersama Emak yang hanya seorang single parrent. Tapi untuk urusan sandang dan pangan, bagi kami berdua sudah lumayan. Sebab dari muda Emak berprofesi sebagai pedagang kere.
Perantau dari Riau inilah yang melambungkan ambisi saya. Apabila sudah besar kelak saya bercita-cita keluar dari kampung halaman. Cita-cita hanya satu. Ingin jadi orang kaya.
Mulai usia menginjak dewasa, saya berharap dapat jodoh seorang perantau. Atau setidaknya lanang kampung yang bekerja dan berdomisili di luar daerah.
Mimpi ini sangat mempengaruhi kejiwaan saya. Apabila mendengarkan lagu Minang yang bertema merantau, hati saya tersentuh. Seakan kehidupan saya yang dikisahkan dalam lagu tersebut.