Hangatnya kebersamaan dengan putra-putri yang pulang dari rantau, bukan hanya sekadar melepas rindu dan makan bareng. Terlebih dari itu, bernostalgia tentang masa lampau, mengenang kembali perjuangan dalam mendidik dan membesarkan mereka yang penuh suka dan duka.
Kini mereka telah menjadi "Mama" dan "Papa", Tingkah lucu dan konyol mereka semasa kecil tetap memumi di benak saya.
Lucu? Iya.
Menyebalkan? Iya.
Dimarahi? Pasti.
Tapi saya kangen itu semua dan tetap indah bila dikenang. Andai waktu bisa diputar, saya ingin kembali ke masa-masa itu.
Masih segar dalam ingatan, semasa anak lanang saya berusia tiga tahun, dia takut kepada burung elang. Saking takutnya, setiap elang berbunyi mukanya pucat bibirnya biru, dadanya menabuh tak karuan.
Pasalnya, di kepala bocah yang biasa dipanggil Dedek itu pernah ditemukan kutu. Meski tidak banyak, namun cukup mengganggu. Tetapi dia menolak untuk dicari/dibuang. Zaman itu saya nyambi sebagai hairdresser. Kadang-kadang kutu pasien pindah ke baju saya terus menjalar ke kepala Dedek.
Oleh saudara perempuan saya dibuatlah suatu cerita, bahwa burung elang itu suka pada anak kecil yang banyak kutu. Dibawanya terbang ke pohon beringin yang tinggi dan tak bisa kembali lagi.
Efeknya, setiap unggas buas itu berbunyi si Dedek lari terbirit-birit, masuk rumah sambil menangis minta dicarikan kutu. Peristiwa tersebut terjadi berulang-ulang.
Mirisnya, ketika dia minta perlindungan, sang pengarang cerita dan orang sekitarnya tertawa terkekeh-kekeh. Malah ikut menakut-nakuti dan pura-pura cuek.