Ternyata, sejak enam hari yang lalu saya punya tetangga baru. Sekilas terlihat, dia seperti nyonya rumah biasa. Penampilan sederhana tetapi rapi. Semula saya menduga dia isteri salah seorang pekerja bangunan yang ngontrak di rumah petak milik tetangga sebelah.
Dugaan saya bukan tanpa alasan. Di antara 10 penghuni kontrakan tersebut hanya dia yang emak-emak. Lainnya bapak-bapak. Saya samperin dia. Tanpa basa-basi dia mengajak saya ke dapurnya. Ingin tahu siapa wanita cantik ini? Berikut pengakuannya kepada saya.
Perempuan setengah baya itu bernama Tutik. Setahun terakhir dia bekerja sebagai tukang masak sekelompok buruh bangunan, yang berjumlah antara 10-20 orang. Tempatnya berpindah-pindah mengikuti di mana daerah proyeknya.
Saat ini para buruh tersebut sedang membuat trotoar. Sekalian menambal jalan aspal yang rusak. Kebetulan lokasinya di sekitar kediaman saya, jalan raya lintasan Sungai Penuh-Jambi, Desa Simpang Empat Tanjung Tanah, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi.
Sebelumnya perempuan yang pernah mengenyam pendidikan di bangku SMP ini bekerja menggores karet di kampungnya Rimbo Bujang Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi.
Ketika ditanya enak mana menggores daripada tukang masak. Spontan dia menjawab, "Enak tukang masaklah Bu. Di Rimbo saya cuman memburuh. Bukan karet sendiri. Hasilnya bagi dua. Sebagian untuk pemiliknya, sebagian lainnya buat saya," katanya. "Di sini saya terima gaji bersih Rp 2 juta perbulan. Pembayarannya lancar. Makan, apa-apa, semua gak mikir. Gawenya enteng. Masak 3x sehari, ala kampung saya aja," tambahnya tersenyum bangga.
Tanpa bermaksud kepo tentang pribadinya meskipun kepo benaran, saya beranikan diri menanyakan keluarganya.
Mulailah Mbak Tutik berkisah, bahwa dia punya anak 3. Semuanya sudah menikah dan memiliki anak. Suaminya meninggal kurang lebih 10 tahun yang lalu akibat gagal ginjal. Ketika itu anak bungsunya kelas 1 Tsanawiyah.
"Udah punya cucu ...? Ah masak. Pantasnya empat puluh limaan. Mungkin dari muda tenaga Mbak tak terlalu terkuras, karena tak biasa bekerja berat," tukas saya.
"Ah Ibu, Bisa aja. Udah 52 tahun kok, Bu," sanggahnya seraya tersenyum. "Saya orang susah, Bu. Semasa anak-anak masih kecil butuh biaya sekolah, harga karet mulai jatuh. Saya menjadi pembantu rumah tangga di kota Jambi. Waduh ...! Capeknya minta ampun. Semua pekerjaan rumah saya yang beresin. Momong, masak, nyuci,ngepel, nyeterika, dan lain-lain," kenangnya sambil mengiris-iris kentang.