Banyak kalangan mengatakan, pemilihan umum Indonesia tahun 2019 adalah pemilu terumit di dunia. Lima surat suara dicoblos pada saat yang sama di bilik yang sama. Ruwet, merepotkan, sekaligus membingungkan. Terutama bagi orang-orang kampung yang tidak bisa baca tulis.
Syukur. Perhelatan akbar ini telah usai. Meskipun harus dibayar mahal. Ratusan nyawa petugas KPPS melayang, ribuan tubuh terkapar di rumah sakit akibat kelelahan menjalankan tugas.
Pemenangnya pun sudah tergambar jelas. Tinggal menunggu proses selanjutnya dan pengumuan resmi dari KPU.
Untuk pilres, masalahnya mungkin agak dilematis. Sebab ada paslon yang siap menang tapi belum siap kalah. Ini biarlah menjadi bagian dari seninya berdemokrasi.
Bagi caleg yang lolos, pengorbanan mereka telah berbuah manis. Kursi empuk sudah di depan mata. Yang belum berhasil, harus bersabar dulu. Lima tahun ke depan jalan masih terbentang panjang.
Khusus masalah pileg DPRD Kabupaten di tempat saya, kini saatnya fakta berbicara. Kesempatan nyaleg boleh-boleh saja terbuka untuk semua warga negara, tanpa memandang status sosial. Namun, pemenangnya tetap di genggam tangan-tangan tertentu. Siapa lagi kalau bukan kaum berduit.
Caleg bokek hanya gigit jari. Sepintar dan sehebat apapun dia, setinggi apun modal sosialnya mereka pasti kalah telak. Jangankan di level dapil, di desanya sendiri dia KO habis. Yang tersisa hanya kecewa berteman duka.
Mendingan caleg bokek modal dengkul. Meskipun kalah tidak terlalu stress. Paling-paling sedihnya seminggu dua minggu. Umumnya mereka ini pemain kelas iseng-iseng berhadiah alias sekadar uji kebolehan. Menang syukur, kalah pun siap. Paling energi non meterialnya yang terkuras. Boro-boro melakukan serangan fajar, serangan cacing di perut pun mereka tak mampu meredamnya. he he ....
Yang kasian, caleg beraset gantung. Ibarat berselimut kain 3 hasta. Ditarik ke bawah kepala tampak, dihela ke atas kaki tersembul. Uang habis tenaga amblas. Amplop tersebar tiada dibalas.
Harus bagaimana lagi. Sebelum nyoblos, calon pemilih yang sudah dipinang diam-diam merelakan dirinya diculik caleg lain. Mereka terpikat isi amplop yang lebih tebal. Dalam situasi genting begini, bukan orang cari duit. Tapi duitlah yang mencari orang. Jika caleg putra desa cuman sanggup bayar 100 ribu, yang dari luar mampu dua atau tiga kali lipat.
Saya menangkap obrolan di kedai kopi, kian sedikit target suara yang hendak dicapai, persaingan semakin ketat. Terlebih jika jumlah kontestannya banyak. Katakanlah untuk memenangkan kompetisi seorang caleg DPRD kota/kabupaten cuman butuh 500 suara. Mereka tak rugi bermain di angka 1 juta persuara. Kalau hanya seratus dua ratus ribu, dijamain dia akan keok.