Lihat ke Halaman Asli

Nursini Rais

TERVERIFIKASI

Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Ini Cerita Mencengangkan tentang Pemberian Sebuah Nama

Diperbarui: 18 Januari 2019   16:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (Unsplash/rawpixel)

Apalah arti sebuah nama jika dibandingkan sebuah cinta. Ahay ... cinta lagi, cinta lagi. Memang itulah faktanya.

Nama dan cinta itu ibarat siang dan matahari. Cinta akan terasa indah bila dikaitkan dengan sebuah nama.  Rindu pun terasa sahdu tatkala mengingat sebuah nama, yang keberadaannya jauh di luar sana. Ah, ini hanya intermezo.

Nama itu tidak melulu urusan cinta. Lebih dari itu menyangkut identitas. Tanpa identitas seseorang akan sulit dikenali, tentu kerepotan berinteraksi dengan lingkungan. Andai suatu negeri semua penghuninya tidak punya nama, bayangkan apa yang terjadi? Mungkin untuk menyapa satu dan lainnya hanya saling mencolek.

Nama juga kebanggaan diri. Ketika berada di suatu forum,  seseorang merasa lebih dihargai jika namanya disebut ketimbang sapaan tak berujung tak berpangkal. Semisal, hei, situ, anda, dan panggilan nyeleneh lainnya. 

Ilustrasi: thelist.com

Begitu pentingnya nama bagi umat manusia. Sehingga setelah bayi lahir, Islam mewajibkan ibu bapak  memberikannya sebuah nama.  Karena nama adalah doa, disarankan nama yang indah didengar dan mangandung makna  yang bagus. Dengan harapan akan berpengaruh positif bagi sisi kehidupan si anak kelak.  

Orangtua yang mengerti agama, mempersiapkan nama bernuansa relegi untuk calon buah hatinya, yang mereka rangkai dari huruf/ kata-kata dalam  alquran. 

Namun menurut pengalaman, dalam pemberian nama kepada si kecil dipengaruhi  pula oleh banyak hal. Di antaranya,

  • Perkembangan Zaman 

Dahulu kala, di suatu daerah tradisi memberi nama bayi dengan kata seadanya saja. Misalnya Ago (bakul),  Piok  (periuk), Sndok (sendok),  dan sebagainya,  yang diadopsi dari  sebutan benda di lingkungan.  Kisah ini saya peroleh  dari rekan kerja saya, yang kebetulan moyang beliau sendiri pemilik satu dari nama tersebut. Sayangnya, sang penutur tidak memberitahukan, apa alasannya mereka menggunakan nama sebegitu enteng bin aneh tersebut.

Bandingkan dengan generasi zaman now. Namanya keren-keren dan  kekinian.  Sehingga lidah dan bibir saya terlipat-lipat melafalkannya. Vatilialova,  Maryanewloves, dan entah apa lagi bingung mengingatnya.

  • Lingkungan Sosial

Empat puluhan tahun lalu, saya temui dalam satu desa memiliki nama yang sama antara satu dengan lainnya. Perempuan umumnya bernama depan "Siti" plus nama wanita Arab . Contoh, "Siti Aisyah". Dalam satu desa, ada puluhan pemilik nama siti Aisyah. Tua, muda, remaja, sampai ke  balita. Begitu juga nama lain, seperti, Siti Khadijah, Siti Aminah, Siti Rahmah, dan berjibun Siti lainnya beraroma Arab.

Kalau cewek pakai "Siti", cowoknya pakai  "Muhammad, Ahmad,  Saidina, atau Abdul".  Sama halnya dengan kaum Hawa, ada puluhan pria namanya didahului dengan nama depan Muhammad. Belakangnya  disematkan nama rasul, nabi, sahabat atau yang berbau Arab.  Ada Muhammad Ridwan, Ahmad Sulaiman, Saidina Umar, Abdul Malik,  dan sebagainya. Tak terhitung jumlahnya pria bernama seperti di atas.

Lalu bagaimana membedakan antara Siti Aisyah satu dengan Siti Aisyah lainnya? Dan Muhammad Ridwan satu dengan lainnya?  Gampang. Ujungnya disisipkan nama bapak. Kalau ayahnya bernama Muhammad Sabirin, anak perempuan menjadi  Siti Aisyah Sabirin. Untuk pria Muhammad  Ridwan Sabirin. Demikian seterusnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline