Emak ini bernama Yuli. Dia, suami dan anak-anaknya tinggal di desa Pulau Pandan, Kacamatan Bukit Kerman, Kabupaten Kerinci Jambi.
Perempuan 4 anak ini adalah salah satu potret ibu bangsa pekerja keras. Hari-hari dia berjalan kaki kurang lebih 10 kilometer, masuk desa keluar desa untuk berjualan lokan. (Sejenis kerang air tawar kecil-kecil yang hidup di dalam Danau Kerinci). Sekali-sekali dagangannya bervariasi dengan tekuyung (siput), jengkol dan apa saja yang bernilai jual. Tak heran tubuhnya terlihat kuat dan sehat.
Masa kehamilan tidak membuat dirinya cengeng dan berhenti beraktivitas. Begitu juga setelah melahirkan. Dia rela menggendong bayinya sembari menawarkan dagangan door to door. Kini anak bungsunya itu sudah besar. Dirinya telah bebas menenteng dagangan ke mana-mana tanpa menggendong anak.
Saya tanyakan padanya kenapa dia begitu semangatnya berjualan? Mengapa tidak minta dinafkahi sama suami saja? Atau suami berjualan dia mengurus rumah tangga.
Ibu perkasa ini berdalih, "Saya orangnya biasa susah, Bu. Tak enak menadah tangan pada suami. Dia hanya tukang gores karet. Penghasilannya jauh dari cukup. Tanggung jawab banyak. Anak-anak yang minta belanja sekolah, cucu yang perlu dibantu. Selagi sehat, saya mau punya uang hasil usaha sendiri. Biarlah badan saya capek asal perut anak-anak kenyang."
Suatu pagi saya coba mengangkat bawaannya. Satu kaleng bekas cat tembok 25 kilogram berisi lokan. lainnya ember plastik hitam penuh tekuyung. Waduh, beratnya minta ampun. Bayangkan siput dan lokan itu sama beratnya dengan kerikil.
Tetapi, akhir-akhir ini jika bebannya banyak begitu, perempuan yang mengaku menikah saat kelas dua SMP itu naik mobil sebatas Simpang Balai. Kemudian dia menenteng dagangannya sambil menawarkan kepada warga di sepanjang jalan. Menurut dia, Andai nasib mujur sedang berpihak, baru melewati satu desa barangnya ludes terjual. Sebaliknya kalau malang lagi melintang, berjalan tiga kilometer menuju dua atau tiga desa pun belum tentu laku semua.
Berjibun kelebihan menempel pada diri wanita 42 tahun ini. Lincah, ramah dan tidak pemalu. Setelah dagangannya terjual habis, dia pulang ke desanya. Lagi-lagi dengan berjalan kaki. Jika ketemu seseorang bermotor tanpa adanya boncengan, dia tidak malu-malu minta numpang. Pernah beberapa kali dia naik motor suami saya, yang kebetulan pergi ke kebun melewati negeri tempatnya berdomisili. Anehnya, nenek belia itu minta diturunkan jauh sebelum sampai ke alamatnya.
Terakhir saya ketemu Ibu Yuli ini tanggal 13/10/2018 di warung gorengan tetangga. Saya tawarkan dia untuk difoto. "Nanti saya tulis kisah perjuangan "awak" di media online. Boleh, kan?"
"Mau, Bu. Silakan saya difoto. Biar orang tahu nasib saya," katanya sambil tersenyum lepas.
Klik .... Potret langsung jadi. "Cukup segini dulu. Kapan-kapan dipotret lagi pakai baju lain. Sebaiknya kaleng "awak" berisi barang. Sekarang kan sedang kosong."