Sirih adalah tumbuhan merambat. Numpang hidup pada pohon lain, tanpa merusak batang tempatnya bersandar. Sebagian masyarakat di tanah air, memposisikan sirih pada banyak perspektif. Empat darinya adalah sebagai berikut:
Sebagai Sarana Melestarikan Budaya
Di beberapa daerah di Indonesia, ada kebiasaan mengunyah sirih. Saya lebih senang menyebutnya makan sirih atau menyirih. Sebab, bagi sebagian orang, sirih tidak hanya sekadar dikunyah. Tetapi dimakan bersama ampasnya. Sebelum dimakan, buah atau daun tuanya diracik bersama buah pinang, gambir, kapur sirih yang terbuat dari abu sisa pembakaran kulit kerang.
Tradisi ini telah diwariskan oleh nenek moyang sejak lebih dari 3000 tahun lampau sampai sekarang. Ada juga catatan musyafir Tiongkok menyatakan bahwa sirih dan pinang telah dikonsumsi dua abad sebelum masehi. Tidak diketahui dengan pasti asal usul menyirih ini dari mana. Dari cerita sastra, taradisi menyirih berasal dari India. Namun selain India menyirih telah dikenal masyarakat Asia Tenggara, Malaysia, dan menyebar ke Indonesi. Seperti di Sumatera, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Menyirih selalu identik dengan emak-emak lansia. Sebab, kegemaran ini umumnya digandrungi oleh golongan nenek-nenek. Kecuali beberapa daerah tertentu di Papua. Masyarakat di sana mengonsumsi sirih semenjak usia tujuh tahun sampai tua (indonesiakaya.com). Tetapi yang ditonjolkan sebagai bahan pokok adalah pinangnya. Buah sirih (bukan daunnya) dan kapur cuman ramuan pelengkap.
Makan sirih memberikan kepuasan tersendiri bagi penikmatnya. Mula-mula hanya sekadar iseng, nebeng pada teman sebaya atau orang terdekat. Lama-lam jadi ketagihan. Seperti kecanduan rokok. Terlebih setiap sesudah makan. Jika tidak terpenuhi rasa ada yang kurang. Canggung, mulut dan lidah terasa kering, asam, disertai pusing.
Semasa kecil saya sering ikut-ikutan makan sirih. Setelah itu gigi kuning, rongga mulut tidak enak. Tak jarang lidah mutung serasa terbakar karena kebanyakan kapur. Efeknya, tak enak makan sampai dua hari. Apakah saya kapok? Tidak. Lain hari diulang lagi.
Menurut beberapa sumber, makan sirih dapat menguatkan gigi dan menghilangkan bau mulut. Tak heran, orangtua penyirih pada usia 80 tahun giginya masih utuh.
Kayaknya, hal ini belum berlaku bagi semua orang. Almarhumah emak saya pecandu sirih. Pada usia 58 tahun satu per satu giginya mulai rusak. Sepuluh tahun kemudian ompong permanen. Jika tidak gosok gigi, cucunya menolak untuk dicium. Katanya, "Mulut nenek bauk."
Bagi orang kampung saya Pesisir Selatan Sumatera Barat, menyirih memberikan sensasi khusus jika disertai dengan menyugi. Yaitu, tembakau lempengan digulung sebesar kelereng atau lebih. Kemudian sambil mengunyah sirih gumpalan mungil itu digelinding dan digosok-gosok pada permukaan gigi bagian luar. Menurut pecandunya, ketergantungan menyugi lebih berbahaya daripada ketagihan sirih. Enakan mengurangi makan daripada tak punya tembakau. Katanya, menyirih tanpa sugi seperti sayur tanpa garam.
Untuk diketahui, tidak semua pemakan sirih adalah penyugi. Tetapi setip penyugi pasti pemakan sirih.
Simbol Pergaulan dan Kerendahan Hati