Lihat ke Halaman Asli

Nursini Rais

TERVERIFIKASI

Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Apakah Saya Pengidap "Hoarding"?

Diperbarui: 15 November 2018   13:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen Pribadi

Saya sulit berpisah dengan benda yang pernah saya miliki dalam waktu yang relatif lama. Padahal barang tersebut sudah seharusnya dibuang tersebab tidak layak pakai. Saya khawatir, jangan-jangan saya penderita hoarding. Yaitu, penyakit kejiwaan buat penimbun sampah. Pelakunya disebut hoarder. (kaskus.co.id).

Yang saya kumpulkan tidak semua jenis sampah. Melainkan  dokumen surat-menyurat, (termasuk arsip yang menyangkut keuangan semasa saya memimpin suatu sekolah 8 tahun lalu),  buku-buku, pakaian, barang elektronik, dan barang tua lainnya seperti mesin jahit.

Dokumen Pribadi

 Jumlahnya pun tidak banyak. Untuk buku, sebagian sudah saya sumbangkan pada taman bacaan. Begitu  juga dengan pakaian, dibagi-bagikan pada keluarga dari kampung yang kebetulan datang berkunjung.

Dokumen Pribadi

Ada dua alasan saya enggan membuang benda-benda yang sudah berstatus limbah tersebut:

Pertama,  jika suatu saat diperlukan, barang tersebut standby di tempat. Saking lamanya disimpan atau ditaruh di tepat yang tidak biasa, saya sering lupa. Saat butuh, dicari-cari, bongkar sana cari sini tidak ada. Endingnya beli baru. Di lain kesempatan, tanpa sengaja  ditemui.

Ke dua, ada kepuasan tersendiri karena menganggapnya sebagai koleksi. Semasa remaja, saya punya banyak Sahabat Pena. Dalam kondisi prangko masih menempel pada sampul, surat-suratnya saya simpan. Dilengkapi pula dengan surat cinta dari mantan pacar.

Setelah menikah dan punya rumah sendiri, dokumen tersebut saya tarok di loteng. Tiga puluh tahun kemudian saya baru ingat. Ternyata semuanya sudah rusak dimakan rayap. Sampai sekarang saya sangat menyesal karena tidak menaruhnya di tempat yang wajar.  Coba kalau masih terpelihara, perangkonya dapat menambah koleksi. Nominalnya antara 10-100 rupiah. Tentu saja  zaman sekarang  dokumen begitu tidak dapat dibeli.

Dokumen Pribadi

Semenjak itu setiap akan membumihanguskan barang rongsokan, saya teringat riwayat  prangko yang pernah tersia-siakan, kini tak mungkin saya miliki lagi. Niat untuk melemparkannya ke tong sampah batal.

Dokumen Pribadi

Kegemaran saya mengumpul barang bekas (khusus elektonik) semakin menjadi-jadi setelah berkunjung ke beberapa museum di Inggris. Di Villa Aston, ada sepatu tua Golden Era Boots th 1900 dan Gabby Agbonlahor's Boots, berbungkus rapi menggunakan plastic. Keduanya digantung di dinding. Di Black Country Living Museum, ada mesin cuci dan pengering pakaian terbuat dari besi, dioperasikan secara manual, seterika arang, dan tempayan tempat air.

Mesin cuci/pengering di rumah penduduk Black Country Living Museum Inggris. Dokumen Pribadi.

Di Walsall Letter ada mesin jahit besar merek Singer. Hitam, tua, persis kayak Singer koleksi saya, cuma beda ukuran. Belum lagi di Birmingham Museum & Art Gallery dan Museum lainnya.   

Seterika arang di rumah penduduk Black Country Living Museum Inggris. Dokumen Pribadi

Sekali sekali saya berpikir, untuk apa barang-barang ini ditimbun. Kelak setelah saya mati, menjadi beban anak-anak untuk menyingkirkannya. Selain  menambah kerjaan juga. Sesekali perlu dilap atau dicuci. Kalau tidak, pasti debunya tebal. Atau disarangi tikus.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline