Saya sulit berpisah dengan benda yang pernah saya miliki dalam waktu yang relatif lama. Padahal barang tersebut sudah seharusnya dibuang tersebab tidak layak pakai. Saya khawatir, jangan-jangan saya penderita hoarding. Yaitu, penyakit kejiwaan buat penimbun sampah. Pelakunya disebut hoarder. (kaskus.co.id).
Yang saya kumpulkan tidak semua jenis sampah. Melainkan dokumen surat-menyurat, (termasuk arsip yang menyangkut keuangan semasa saya memimpin suatu sekolah 8 tahun lalu), buku-buku, pakaian, barang elektronik, dan barang tua lainnya seperti mesin jahit.
Jumlahnya pun tidak banyak. Untuk buku, sebagian sudah saya sumbangkan pada taman bacaan. Begitu juga dengan pakaian, dibagi-bagikan pada keluarga dari kampung yang kebetulan datang berkunjung.
Ada dua alasan saya enggan membuang benda-benda yang sudah berstatus limbah tersebut:
Pertama, jika suatu saat diperlukan, barang tersebut standby di tempat. Saking lamanya disimpan atau ditaruh di tepat yang tidak biasa, saya sering lupa. Saat butuh, dicari-cari, bongkar sana cari sini tidak ada. Endingnya beli baru. Di lain kesempatan, tanpa sengaja ditemui.
Ke dua, ada kepuasan tersendiri karena menganggapnya sebagai koleksi. Semasa remaja, saya punya banyak Sahabat Pena. Dalam kondisi prangko masih menempel pada sampul, surat-suratnya saya simpan. Dilengkapi pula dengan surat cinta dari mantan pacar.
Setelah menikah dan punya rumah sendiri, dokumen tersebut saya tarok di loteng. Tiga puluh tahun kemudian saya baru ingat. Ternyata semuanya sudah rusak dimakan rayap. Sampai sekarang saya sangat menyesal karena tidak menaruhnya di tempat yang wajar. Coba kalau masih terpelihara, perangkonya dapat menambah koleksi. Nominalnya antara 10-100 rupiah. Tentu saja zaman sekarang dokumen begitu tidak dapat dibeli.
Semenjak itu setiap akan membumihanguskan barang rongsokan, saya teringat riwayat prangko yang pernah tersia-siakan, kini tak mungkin saya miliki lagi. Niat untuk melemparkannya ke tong sampah batal.
Kegemaran saya mengumpul barang bekas (khusus elektonik) semakin menjadi-jadi setelah berkunjung ke beberapa museum di Inggris. Di Villa Aston, ada sepatu tua Golden Era Boots th 1900 dan Gabby Agbonlahor's Boots, berbungkus rapi menggunakan plastic. Keduanya digantung di dinding. Di Black Country Living Museum, ada mesin cuci dan pengering pakaian terbuat dari besi, dioperasikan secara manual, seterika arang, dan tempayan tempat air.
Di Walsall Letter ada mesin jahit besar merek Singer. Hitam, tua, persis kayak Singer koleksi saya, cuma beda ukuran. Belum lagi di Birmingham Museum & Art Gallery dan Museum lainnya.
Sekali sekali saya berpikir, untuk apa barang-barang ini ditimbun. Kelak setelah saya mati, menjadi beban anak-anak untuk menyingkirkannya. Selain menambah kerjaan juga. Sesekali perlu dilap atau dicuci. Kalau tidak, pasti debunya tebal. Atau disarangi tikus.