Saya terenyuh ketika menyaksikan, seorang bocah korban gempa Palu minta ikut Presiden ke Jakarta. Dengan polos bocah bernama Izrael itu bercerita bahwa ibunya berada di syurga. Dia tak boleh nangis. "Kalau aku nangis Mamaku juga nangis." Hanya itu yang ada dibenak bocah seusia Izrael, selain bermain makan, minum, dan tidur.
Kisah pilu itu terekam kamera saat Presiden Joko Widodo meninjau kondisi terkini proses evakuasi di Hotel Roa Roa, Palu Sulawesi Tengah.
Naluri saya rasa tersayat setelah mengetahui ibu Izrael ini meninggal akibat gempa dan tsunami 28/9/2018 lalu. Ayahnya dirawat di rumah sakit karena luka parah. Dua adik kembarnya tinggal bersama tantenya di pengungsian. (Tribunstyle.com).
Kisah ini mengingatkan saya pada anak perempuan 3 tahun putri sahabat suami saya. Dengan bahasa yang belum bisa sepenuhnya saya pahami, dia menceritakan saat ia terperangkap di bawah reruntuhan tembok rumahnya yang ambruk diguncang gempa tahun 1995 yang lalu. Ajaibnya, gadis lincah itu selamat dengan sedikit luka lecet di lengannya. Sedangkan ibunya meninggal dalam posisi berbaring mendekap putri kesayangannya itu.
Bagi saya pribadi, reaksi negatif sebagian masyarakat Palu, Sigi, dan Donggala Sulteng, pasca gempa dan tsunami bukan hal aneh. Jika ada warga yang marah-marah mengumpat pemerintah, karena belum mendapat bantuan. Itu lumrah. Namanya orang panik. Mendambakan perhatian, bantuan, minimal ditinjau. Tapi apa hendak dikata. Kondisi sulit menjadi kendala.
Jangankan dihantam gempa 7,7 Skala Richter disertai tsunami, terdampak guncangan tanpa stunami saja kalutnya minta ampun. Saya dan keluarga pernah mengalaminya. Seminggu bermalam di tenda, saya sangat mengharapkan ibunda dan adik-adik saya dari kampung menjenguk. Namun, harapan itu tak kunjung terwujud.
Sementara tetangga sebelah bertubi-tubi mendapat kunjungan dari sanak keluarganya. Dua minggu kemudian, ibu saya datang. Saya sedih, marah, dan menangis sejadi-jadinya. Rasanya mau mencuekinya dan menyuruh beliau pulang saja. Padahal, khususus di pemukiman saya imbas gempa tidak terlalu parah. Kami tidak kekurangan makanan, air bersih, selimut, dan kebutuhan lainnya semuanya kami tangani secara mandiri. Sumbangan dari pemerintah hanya sebungkus super mie per orang mulai hari ke tiga (kalau tak salah ingat).
Rupanya, Nenek tiga cucu itu tidak menyangka kalau bencana menimpa kami sebegitu parah. "Seumur hidup saya belum pernah mengalami gempa besar yang sampai menghancurkan bangunan," katanya polos. Maklum, saat itu beliau belum punya televisi. "Orang kampung memang pernah bilang. Di Kerinci ada gempa. Banyak penduduk yang mati, ribuan rumah hancur. Makanya saya ke mari," tambahnya.
Untuk diingat kembali, pada tanggal 07 Oktober 1995. Pukul 01.10 Wib, telah terjadi gempa tektonik berkekuatan 7,0 Skala Richter di Kabupaten Kerinci, Jambi. Akibatnya, 84 jiwa melayang, 1. 868 luka-luka, 7.137 rumah dan fasilitas umum rusak berat dan ringan.
Entah mengapa, malam itu setelah salat Isya suami saya bilang, "Coba, sesekali temani anak tidur di kamar belakang. Sekalian ngetes. Mana tahu banyak nyamuk. Sekarang lagi musim demam berdarah."
Saya mengikuti saran beiau.
Tengah malam pukul 01.10 Wib, seluruh anggota keluarga sedang terlelap. Tiba-tiba bumi bergemuruh seakan runtuh disertai guncangan hebat. Di luar kamar terdengar lemari pajangan rubuh. Saya terbangun. Listrik padam semua. Gelapnya bak dalam kubur. Saya kira dunia akan kiamat. Ranjang tempat saya dan si bungsu tidur miring ke kiri. Tubuh ini tergelinding serasa seperti bola. Akhirnya terlempar jatuh ke lantai. Saya lemas dan lemas sekali.