Lihat ke Halaman Asli

Nursini Rais

TERVERIFIKASI

Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Kayu Manis dan Karet, Riwayatmu Dulu dan Kini

Diperbarui: 14 Agustus 2018   07:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: aktual.com (kiri atas) tribunnews.com (kiri bawah). Dokumen pribadi (kanan atas dan bawah)

Saat menyebut nama Kerinci, yang terbayang di benak kita adalah puncak gunung tertinggi di Sumatera. Eh ..., tunggu dulu. Tidak hanya itu. Ada gaung yang lebih menggema mempromosikan Kerinci   di mata Internasional . Yaitu sebagai penghasil kayu manis terbesar sedunia. Masyarakat setempat menyebutnya kulit manis. Produknya dikenal dengan cassiavera.

Pertama menginjakkan kaki di tanah Kerinci, saya terperangah menyaksikan keindahan alamnya. Sekelilingnya dilingkungi gunung, yang  sebagian besar permukaannya ditutupi pohon kayu manis. Tak heran, Kerinci disebut-sebut sebagai daerah produsen kulit manis terluas di Indonesia. Negara pengimpor utaman kulit manis Indonesia adalah Amerika, Kanada  dan Jerman. (greeners.com. 13 Juni 2017)  

Dokumen pribadi

Dahulu, masyarakat dari luar daerah berbondong-bondong datang dan menetap di Kabupaten Kerinci, membuka lahan untuk berkebun kulit manis. Mereka rela tinggal di hutan (baca: di kebun) selama belasan tahun. Sebab, mulai menanam sampai dipanen, membutuhkan waktu minimal 8 tahun. Makin tua usianya  produksinya semakin melimpah, kian bagus mutu, dan bertambah tinggi pula nilai jualnya.

Umumnya petani Kerinci menganggap menanam kayu manis adalah upaya menabung untuk masa depan. Menjelang  panen, mereka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dari hasil bercocok tanam padi,  palawija, buah-buahan dan lain sebagainya. 

Jika ada yang bertanya pekerjaan orangtuamu apa?  Katakan saja berkebun di Kerinci. Tak perlu menyebut petani kulit manis. Pasti orang melabeli kamu anak orang kaya.

Zaman saya sekolah dahulu  (1972-1973), penghasilan orangtua, menentukan besaran uang bulanan yang akan dibayar di sekolah. Beberapa teman di kelas saya sering memanipulasi data. Mereka lebih senang  mengaku sebagai anak pedagang kecil daripada putra atau putri petani.

Dokumen pribadi

Tetangga saya yang sekarang sudah almarhum pernah bercerita, dengan hanya menjual satu hohon kulit manis di belakang rumah, dapat mengantarkannya pergi haji. Tentu saja tanaman tersebut sudah berusia tiga puluhan tahun.

Sayangnya, kondisi di atas  cuma berlaku pada masa jayanya. Yakni tahun 60-80-an. Selepas itu, harga jual kayu manis berangsur turun.  Pernah anjlok ke titik terendah lima ribu rupiah perkilo. Ya, ampun .... Bayangkan suka duka mulai  mengelupaskan kulitnya dari pohon, membersihkan kulit luarnya, memanggulnya pulang naik turun gunung melewati jalan setapak, sungguh pekerjaan yang tidak mudah. Belum lagi urusan penjemuran. 

Tidak heran, sebagian petani enggan merawat kebun kulit manis miliknya. Karena pembiaran tersebut satu persatu pohonnya  mati meranggas dibalut belukar. Tiada lagi petani yang tinggal di ladang. Apabila Anda melewati jalan darat dari Kerinci ke Jambi atau sebaliknya, antara Desa Bedeng Lima sampai ke perbatasan Kabupaten Merangin,  akan terlihat puing-puing pondok kebun. Sudah reot dan jungkir balik setelah ditinggal penghuninya.  Begitu juga di daerah Lumpur, dan sekitarnya.

Dokumen pribadi

Karena harga kulit manis tak kunjung naik, sebagian masyarakat  di daerah saya  (Kerinci bagian hilir) beralih ke tanaman karet yang lebih menjanjikan. Namun, apa hendak dikata. Usaha petani ibarat mengejar bayang-bayang. Kian dikejar semakin menjauh. Ketika karet siap dipanen, dikala itu pula nilai jualnya jatuh tersungkur. Beberapa tahun terakhir tak pernah bangun lagi.  Bahkan saat ini di Kecamatan Batang Merangin (lokasi kebun saya), getah basah tak laku. Yang kering cuma dihargai lima ribu rupiah perkilo, terlepas apakah harga tersebut permainan para tengkulak atau tidak.  

Terhempasnya harga karet, berdampak buruk jugu pagi perekonomian petani di kabupaten lain dalam Provinsi Jambi. Kini, kebanggaan masyarakat Jambi pada benda busuk ini telah pupus.  Daripada asap dapur tidak mengepul, petani tetap saja menggores. Walaupun penghasilannya tidak seimbang dengan energi yang terkuras.  Sebab, menoreh pisau gores pada pohon karet itu bukan pekerjaan ringan. Mendingan menyadap di kebun  sendiri.  Kalau memburuh pada orang lain dengan sistem bagi hasil,  perharinya dapat berapa? Palingan dua puluh lima ribuan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline