Selama hidup, saya beberapa kali gonta ganti tempat tinggal. Di desa, ada juga di kota. Setiap daerah pasti ada ibu-ibu muda bertetangga dan bersahabat karib. Terutama yang tinggal di kompleks, suka ngerumpi sambil mencari kutu. Sesekali masak rame-rame dan makan bersama bawa anak.
Saking mabuknya ngumpul bersama, memotong sayur pun dibawa ke tempat teman sembari ngobrol utara selatan. Parahnya, ketika lagi asyik ngobrol, anaknya ngajak pulang minta makan dia menjawab, "Makan di sini aja. Minta nasi sama Bu De ya!"
Lucunya, perteman mereka juga dibumbui pertengkaran gara-gara terpeleset lidah. Sampai-sampai saling caci maki. Eh...Beberapa minggu kemudian baikan lagi. Anggota grup ini terdiri dari ibu-ibu muda yang suaminya berpenghasilan pas-pasan.
Jangankan berpikir untuk menambah penghasilan keluarga, mereka malah mem-bully kaumnya yang bekerja. Katanya, menafkahi isteri itu urusan suami.
Sepuluh tahun lalu, seorang karyawati swasta pernah curhat kepada saya karena tuntutan pekerjaan. Dia sering pulang agak malam. Sehingga sebagian ibu-ibu kompleks khususnya anggota geng ngerumpi tersebut, terang-terangan menyatakan apatisme terhadap dirinya. "Acap kali ketika saya pulang kerja, mereka bernyanyi-nyanyi di bawah pohon mangga milik tetangga. Syairnya mereka ganti dengan kata sindiran berkonotatif ejekan yang ditujukan kepada saya," keluhnya.
Rupanya karyawati tersebut cuek saja. Malah berusaha merangkul mereka untuk diperdayakan. Katanya membantu kaumnya mengurangi budaya gosip berjamaah.
Jika ada proyek/acara di kantor, urusan konsumsinya dia serahkan kepada personil geng tadi yang ahli bidang masak-memasak. Satu darinya berhasil keluar dari zona nyaman. Beberapa tahun kemudian sudah punya rumah sendiri, meski kreditan. Sisanya, masih begitu-begitu saja.
Kini, anak-anak mereka telah besar butuh biaya untuk kuliah. Personel yang tersisa tersebut keos. Perekonomiannya tidak kunjung membaik. Mereka hanya mampu menyekolahkan anak-anaknya batas lulus SMP dan SMA. Rumah masih ngontrak. Hobi ngerumpi masih berlanjut, malahan ada tambahan anggota baru.
Tradisi ngerumpi tidak hanya dipraktikkan oleh kaum wanita, pria juga melakukannya. Bedanya, rumpian ibuk-ibuk itu tingkat kenyinyiran dan materi bahasannya lebih tinggi. Mulai urusan dapur sampai ke sumur. Kadangkala tanpa sadar adegan di kasur pun jadi perbincangan hangat. Sementara rumpian bapak-bapak, sekadarnya saja.
Tujuannya pun tidak jelas. Yang pasti dan umum adalah menilai kelebihan dan kekurangan orang lain.
Di akui atau tidak, ngerumpi ada nilai positif dan negatifnya juga. Positifnya antara lain, mengeratkan pergaulan antar sahabat dan tetangga, cepat menerima informasi dan lain sebagainya. Negatifnya, waktu tidak produktif dan sering menimbulkan fitnah. Terlebih jika dilakukan secara berlebihan sehingga telah membudaya dan mendarah daging.
Ibu-ibu yang cerdas, tidak akan membiarkan dirinya terperangkap dalam dunia pengerumpian yang berlebihan. Kini hidup serba praktis. Memasak, mencuci dan pekerjaan rumah tangga lainnya dapat digantikan dengan teknologi canggih. Sehingga banyak waktu untuk memanfaatkan potensi diri, yang berdampak positif pada perbaikan ekonomi keluarga.