Malam ini, tanggal 09 Juli pukul 09.20 menit tahun 2018 pernikahan saya baru berusia 44 tahun. Sebuah perjalanan yang lumayan panjang penuh onak dan duri.
Sebelum menikah, ayah kandung saya berpesan mistik. Beliau memprediksi jika rencana ini diteruskan, nasib rumah tangga saya akan membaik dalam dua tahun awal. Selepas itu, bersiap-siaplah untuk menderita.
Saya menanggapinya dengan santai. Yang penting ibu dan ayah sambung saya beserta orangtua pihak calon suami merestui. Lain dari itu lewat. Hehe .
Sesuai kondisi ekonomi orangtua saya saat itu, acara pernikahan kami berlangsung sangat sederhana.
Seminggu kemudian kami pindah ke sebuah rumah milik almarhum mertua laki-laki. Sepuluh kilometer dari kampung saya. Alasannya, selain suami buka warung kopi dan makanan di sana, hal ini memang telah menjadi kesepakatan kami berdua dari awal pacaran.
Banyak bibir yang mencibir. "Eh ... hebat kau mengawini anak orang miskin. Bisa diboyong sesuka hati."
Waduh. Sedihnya minta ampun. Sampai sekarang kata-kata tersebut masih terngiang ditelinga saya. Ada juga perasaan marah. Namun nurani dan akal sehat saya mengakui bahwa diri ini memang anak orang miskin.
Alhamdulillah, saya memaafkan mereka. Agar tidak menjadi beban baginya menghadap Sang Khalik. Mereka tidak salah. Kerena tradisi orang kampung saat itu mengharuskan, pasangan yang baru menikah perlu bimbingan dari pihak orangtua perempuan sampai sang keluarga baru bisa mandiri.
Saya berpikir, ibu dan bapak akan terseok-seok jika memaksakan diri untuk melakukannya. Mengingat dengan jumlah anak tujuh kehidupan keluarga kami saat itu super morat-marit. Misi besar kami untuk memisahkan diri adalah meringankan beban orangtua. Bahkan kami berdua sepakat membawa serta seorang adik perempuan saya yang dikala itu kelas tiga Sekolah Dasar. Efeknya, lagi-lagi suami saya diejek. Baru seminggu betumah tangga, dah punya anak gadis satu.
Apa yang kami alami pasca menikah, tak seindah yang dibayangkan saat pacaran. Uang hasil jualan di warung banyak tercatat dalam buku. Setelah berutang pelanggan kabur, belanja di tempat lain. Ketemu di jalan mereka menghindar. Kalau kebetulan terserobok, buang muka. Kayak tidak kenal. Yang berbasa-basi juga ada. Menyapa, tetapi biasa-biasa saja, seolah-olah lupa dan dilupa-lupakan. Kami bangkrut, riwayat warung tamat.
Untungnya, saya punya keterampilan menjahit. Suami bekerja di ladang, saya mencari makan. Buka kebun cabe, mengandalkan tulang empat kerat alias tanpa modal. Mula-mula lahannya agak luas, kian lama semakin sempit/kecil karena beraninya menyangkul bagian tengahnya saja. Takut hariamau. Dengan sendirinya, rumput dari pinggir timur barat utara selatan menyerbu ke tengah.