Puasa usai, lebaran selesai. Kini yang terpapar panggung-panggung kosong. Setelah beberapa malam digoyang oleh musik dan penyanyi ternama sejagat kabupaten ini, dalam rangka memeriahkan Idul Fitri tahun 1439 Hijriah.
Jalan-jalan menuju tempat wisata Sungai Penuh-Danau Kerinci, Sungai Penuh-Kayu Aro dan sebaliknya, yang dipadati oleh kendaraan roda empat dan dua, sudah mendekati kondisi normal. Jauh beda dengan H+1 sampai H+5, macet terjadi di mana-mana.
Sebagian besar pemudik telah kembali ke habitatnya. Tentu dengan isi dompet yang mulai menipis. "Habis, uang seumpama kumis, setelah dicukur ia tumbuh lagi," ujar salah seorang sahabat saya ketika pamit mau berangkat ke rantau yang dia tuju.
Memang wajar, sekali dalam setahun umat Muslim itu memberikan reward kepada jiwa raganya dengan mudik ke tanah kelahiran, atas keberhasilannya menahan haus lapar, dan segala hal yang membatal serta mengurangi pahala puasa. Sekalian mengingat kenangan masa kecil bersama orangtua dan sanak keluarga. Meskipun sebenarnya berlebaran di kampung itu biasa-biasa saja.
Khusus di tempat saya misalnya. Tidak ada yang berubah dalam merayakan Idul Fitri dari tahun ke tahun. Dengan pakaian serba baru atau bagus, masyarakat mengawali pagi Syawal dengan shalat Idul Fitri berjamaah di masjid. Perantau (TKI Malaysia) yang berlalu-lalang, menyantap masakan yang enak-enak, serta bersilaturrahmi ke rumah kerabat pun tetap menyemarakkan hari kemenangan umat muslimin dan muslimat tersebut.
Pendek kata, kondisi ini masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Dan, berlaku juga di tengah masyarakat di desa sekitar. Namun, ada dua tradisi unik yang patut dicermati dan membudaya di desa yang berlokasi di pinggir Danau Kerinci ini dalam merayakan Idul Fitri.
- Ibu-Ibu Tampil dengan Perhiasan Norak
Zaman sekarang, gaya orang kota dan orang desa dalam berpakaian beda-beda tipis. Meskipun ciri udiknya tak dapat disembunyikan. Salah satunya, suka pakai perhiasan emas. Kalau mau tahu diantara warga yang paling banyak berinvestasi emas, lihat saja pada pagi lebaran. Jam-jam sibuk pergi dan pulang dari masjid menunaikan shalat Idul Fitri. Saat itulah para wanita desa setempat mengenakan perhiasan emas yang banyaknya luar biasa. Sebagiannya adalah TKI dari Malaysia.
Bukan berarti pada hari biasa mereka tidak pakai perhiasan. Sebagiannya punya hobi berhias pada saat tertentu saja. Yang lainnya bahkan mempertuankan logam mulia tersebut sebagai bagian dari kesehariannya.
"Kalau tak pakai emas, serasa ada yang kurang lengkap," aku salah seorang teman dekat saya ketika saya tegor dia agar tidak memakai perhiasan terlalu menjolok. Leher, tangan, dan jemarinya dipenuhi emas yang luar biasa banyak dan gede-gede pula.
Apakah mereka tetap aman? Hanya yang bersangkutan yang merasakannya. Sepengetahuan saya, pernah terjadi tiga kali perampokan. Syukur alhamdulillah. Tidak memakan korban nyawa.
Pengakuan sering dikuntit orang tak jelas, beberapa kali saya dengar ceritanya dari yang bersangkutan. Anehnya, masih juga ada pribadi yang berprinsip bahwa kharismanya sebagai wanita terbangun oleh berapa beratnya timbangan emas yang bergelayut di tubuhnya.
- Anak-Anak Sibuk dengan Tradisi Anehnya