Bagi perantau, berlebaran di tanah kelahiran mempunyai kekhusyukan tersendiri. Tidak peduli suka duka yang harus mereka bayar selama melakukan perjalanan. Mendingan pakai mobil pribadi. Tinggal mengatur tanggal dan hari keberangakatan. Capek bisa istirahat, ngantuk, boleh mampir di tempat yang aman lalu tidur buat beberapa menit. Paling, bosan ketika berada di titik-titik macet.
Apabila naik angkutan umum bus atau kereta, jelas kondisinya jauh berbeda. Turun di terminal atau stasiun satu nyambung lagi ke jalur lain. Tak jarang pula setelah menempuh jalan darat, harus naik kapal mengarungi laut atau sebaliknya. Membawa barang dan anak kecil pula. Waduh, Emak. Menghabiskan uang jauh lebih susah daripada mencari dan mengumpulkan duit untuk biaya mudiknya.
Pengalaman pribadi tahun 1977, seminggu sebelum lebaran, saya dan suami mesan tiket bus Gumarang dari Dumai menuju Padang untuk keberangkatan H-2. Dengan prediksi, sampai di kampung halaman waktu subuh atau minimal sebelum Shalat Idul Fitri. Pas tanggal yang telah ditetapkan, pihak Gumarang menyatakan bahwa mobil untuk hari itu full. Padahal, ongkosnya sudah dibayar lunas.
Antarpetugas loket saling menyalahkan. Akhirnya mereka mohon maaf atas kekeliruan tersebut, dan minta keberangkatan kami ditunda hari berikutnya.
Daripada ribut, suami saya mengalah.
Besoknya, saat kami naik mobil, nomor bangku yang tertera di karcis, telah diduduki oleh pemegang tiket dengan nomor tempat duduk yang sama. Hal serupa juga dialami oleh beberapa penumpang lain. Cekcok antar sesama penumpang tak terelakkan, yang berakhir dengan saling tarik. Karena keduanya perempuan, tidak terajadi adu jotos.
Akhirnya, saya, suami, dan beberapa penumpang lainnya terpaksa duduk di lantai bus, di celah kosong antara deretan bangku kiri dan kanan tanpa beralas secarik kertas pun.
Beberapa kilometer mobil berjalan, salah satu penumpang muntah. Saya ikutan mabuk. Dan berhenti setelah semua isi perut terkuras. Lengkaplah sudah penderitaan saya saat itu.
Pukul 6.00 pagi, suami saya mulai gelisah. Dia baru ingat bahwa fitrah belum dibayar. Ketika bus memasuki sebuah perkampungan entah alamatnya di mana, dia berpesan pada sopir, jika ketemu masjid yang ada jamaah/marbotnya minta tolong berhenti sebentar untuk membayar fitrah.
Tak lama kemudian, bus tersebut stop pas di depan rumah ibadah yang jamaahnya sedang bertakbir. Tak tahu nama kampungnya apa, tidak jelas pula entah itu masjid atau musala, kerena tanpa dilengkapi dengan papan nama. Yang jelas, fitrah kami sudah terbayar. Sah tidaknya hanya Allah saja yang menilai.
Sampai di Padang, perjuangan belum berakhir. Kami siap berdesak-desakan priode kedua, untuk menuju kampung halaman. Bus Habeco yang kami tumpangi juga penuh dan jauh lebih kecil daripada Gumarang. Lagi-lagi kami duduk di lantai bus. Tiada pilihan lain. Petugas loket tidak memaksa. Kalau mau oke, jika tidak ya sudah.
Kami sampai di rumah sore sehari setelah shalat Idul Fitri. Meskipun tak sempat shalat Id bersama, penderitaan selama di perjalanan terbayar.