Sungguh, terlalu. Zaman now, masih marak kasus pernikahan anak di bawah umur. Seperti yang dialamai oleh Reski Suci Ramdhani bocah SD 12 tahun di Kecamatan Taroang Jeneponto, dengan pemuda 17 tahun bernama Erwin. Sayangnya, cinta mereka harus kandas, karena aparat berwenang setempat membatalkan rencana ijab kabul mereka. Meskipun panggung pesta telah digelar, tetamu sudah banyak berdatangan, (Bangka Pos, 09 Mei 2018).
Saya berpikir. Bagaimana bisa anak 12 tahun mengurus rumah tangga. Saya aja menikah memasuki usia 23 tahun, masih terasa amat bodoh. Seminggu setelah pengantin, disuruh suami merebus pare. Di tengah lahapnya makan siang berdua, beliau mencolek saya. "Tengoklah! Di dalam sayurmu banyak ikan mungkus." (ikan kecil-kecil sebesar ujung lidi kelapa).
Astaghfirullah. Ternyata di dalam pare yang saya rebus barusan, penuh ulat putih yang sudah tegang. Menyadari diri ini tidak berpengalaman, saya malu tiada terkira. Coba sebelum dimasak, parenya terlebih dulu dibelah, hal itu tidak mungkin terjadi.
Saya tinggalkan masalah ulat pare. Cerita beralih ke lain halaman.
Di era tujuh puluhan, praktik pernikahan di bawah umur lumrah terjadi di desa Cupak Kecamatan Danau Kerinci, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi.
Masih terekam di memori saya. Saat itu hari Sabtu, FD seorang siswa perempuan kelas empat, lagi semangat-semangatnya belajar di kelas, berkejar-kejaran dan main gundu di halaman sekolah. Pagi Senin ketika diabsen, temannya bilang bahwa dia telah menikah. Fenomena serupa beberapa kali menimpa anak didik saya.
Banyak faktor pemicu maraknya pernikahan anak usia Sekolah Dasar. Antara lain, pengaruh lingkungan yang terkait kultur. Pandangan yang melekat di kalangan masyarakat, apabila seorang gadis sudah melewati usia 15 tahun belum juga berjodoh, hukuman sosial yang harus dia terima adalah menyandang predikat perawan tua. Anggapan begini tumbuh subur di hampir seluruh daerah pedusunan. Saya sendiri termasuk pelaku sejarah yang termarginal tersebab usia 20 tahun lebih belum juga laku-laku.
Faktor lain tak kalah penting, mepertahan calon pasangan agar tidak jatuh ke tangan orang lain. Alasan ini dipegang teguh oleh sekelempok masyarakat yang masih melanggengkan tradisi perkawinan keluarga. Tujuannya untuk memagari harta warisan agar tetap terkumpul dalam satu puak. Terlebih, salah satu dari pasangan atau keduanya berasal dari keluarga berada. Apalagi calon suaminya tergolong mapan. Umpanya seorang pengusaha, atau punya kedudukan, jabatan dalam suatu instansi.
Enaknya, orang yang dijodohkan tidak pula menolak. Saya sering mendengar celotehan beberapa kenalan laki-laki, "Daripada ngasih makan orang lain, lebih baik ngasih makan keluarga sendiri."
Pengakuan yang jujur dan syah-syah saja. Saya menjempolinya.
Saking takutnya calon menantu digaet orang, dalam masyarakat setempat mengakar pula tradisi pernikahan bayi. Atas kesepakan orangtua kedua belah pihak, pasangan anak yang masih balita dinikahkan layaknya perkawinan orang dewasa. Ijab kabulnya diwakili oleh pihak lain. Setelah keduanya dianggap cukup umur untuk berumah tangga, pengantin prianya dijemput pulang. Selanjutnya dibolehkan hidup bersama. Sebagai informasi tambahan, pernikahan begini memang tidak dipraktikkan oleh semua warga. Kecuali bagi pemuja berat pernikahan antar keluarga.