Hari terakhir kunjungan saya di kota X, masih ada agenda yang belum ter-eksekusi. Silaturrahmi ke di kediaman kenalan satu kampung. Semula agak enggan, mengingat udara kota kecil itu hangat dan pengap bagi saya yang berasal dari daerah Kaki Gunung. Pikir punya pikir, kalau tidak sekarang kapan lagi. Mumpung masih di sini dan bisa bernafas. Sekalian minta maaf dan saling menghalalkan. Maklum tiga tahun di rantau ini, kami sering bersama bahkan sudah seperti keluarga sendiri.
Begitu sampai di sana, Alhamdulillah. Nyonya rumah menyambut saya dengan hangat. Senyumnya masih semanis tiga puluh sembilan tahun lalu. Walau bekas goresan steno sudah bersileweran di setiap mili wajahnya. Lingkungan dan bangunan masih asli. Yang berubah stuasinya. Rumah yang dulunya ramai oleh tangisan dan senda gurau anak kecil itu, kini sepi bak tanpa penghuni.
Saya bertanya, "Anak-anak pada ke mana, Bu?"
"Semua sudah bekeluarga dan bekerja. Si Ana di Jakarta. Jadi menejer di sebuah perusahaan milik Asing. Si Anu di Pekan Baru. Buka perusahaan bekerja sama dengan bule. Dah punya hotel di beberapa kota. Si Ani bungsu juga di Jakarta. Alhamdulillah juga berhasil. Punya Ruko di kawasan Pondok Cabe senilai 40 M."
Saya berdecak kagum. "Hebat. Anak Ibu memang pantas jadi orang. Soalnya mereka semuanya cantik-cantik. Punya anak cantik itu setengah kaya. Pastinya tak sembarangan orang yang berani melamar."
Janda mantan karyawan perusahaan milik asing itu tersenyum puas.
"Lalu yang cowok dua dulu ke mana?"
Tiba-tiba anak cowoknya nomor 2 nyelonong dari ruang belakang. Saya tidak terlalu kaget melihat perubahan wajahnya. Saya sendiri sudah jadi kakek. Pantaslah dia seperti bapak. Kami saling mengulurkan tangan. Dia menatap sambil mengerutkan kening.
"Abang yang di Sari Repatri Karya dulu." kata si ibu menjawab kebingungannya.
"Oh, saya ingat. Dari Kampung kan?" ujarnya.
"Ya." Saya mengangguk.