Lihat ke Halaman Asli

Nur Samacha

Mahasiswa semester 1 Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Hedonisme atau Minimalisme? Perspektif Islam dalam Menemukan Kebahagiaan Sejati

Diperbarui: 15 Desember 2024   17:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Di era modern yang serba cepat, dua pendekatan gaya hidup yang mencolok hedonisme dan minimalisme kian populer. Hedonisme mendorong seseorang untuk mengejar kebahagiaan melalui kenikmatan duniawi, sementara minimalisme menekankan kesederhanaan dan fokus pada hal-hal yang esensial. Keduanya sering dianggap sebagai respons terhadap tekanan kehidupan kontemporer, seperti stres akibat pekerjaan, konsumsi berlebihan, hingga pengaruh media sosial.

Namun, bagaimana Islam memandang dilema antara kedua pendekatan ini? Sebagai agama yang memadukan nilai-nilai spiritual dengan kehidupan duniawi, Islam menawarkan perspektif yang berbeda. Islam tidak menolak kenikmatan dunia, tetapi menegaskan pentingnya keseimbangan antara kesenangan duniawi dan tujuan akhirat. Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi pandangan Islam terhadap hedonisme dan minimalisme serta bagaimana Islam memberikan panduan untuk menemukan kebahagiaan sejati.

Pandangan Islam tentang Kebahagiaan

Dalam Islam, kebahagiaan sejati (sa’adah) bukanlah sekadar kesenangan fisik atau material, melainkan kedamaian hati yang berasal dari ketaatan kepada Allah SWT. Al-Qur’an menegaskan bahwa kebahagiaan yang hakiki bersumber dari iman dan amal saleh:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ ۝٩٧

“Barang siapa yang mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik...” (QS An-Nahl: 97)

Islam memandang kebahagiaan duniawi sebagai bagian dari kehidupan, tetapi tidak boleh menjadi tujuan utama. Kebahagiaan harus dilihat dalam konteks yang lebih luas, yaitu sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Konsep ini juga ditegaskan dalam hadis Rasulullah SAW:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ، وَرُزِقَ كَفَافًا، وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ

“Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberikan rezeki yang cukup, dan merasa puas dengan apa yang Allah berikan kepadanya.” (HR Muslim)

Selain itu, Islam menekankan pentingnya keseimbangan antara dunia dan akhirat. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:

وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ ۝٧٧

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline