Kamus Merriam-Webster mendefinisikan "overthinking" sebagai "to think too much about (something) : to put too much time into thinking about or analyzing (something) in a way that is more harmful than helpful".
Yakni "terlalu berlebihan memikirkan sesuatu: terlalu banyak menghabiskan waktu memikirkan atau menganalisis (sesuatu) dengan cara yang lebih banyak merugikan alih-alihkan membantu".
Ivan Lanin, sang evangelis bahasa Indonesia, memadankan "overthinking" dengan "lewah pikir" atau "berpikir berlebihan".
Dan, sebagai manusia biasa, aku pun pernah mengalami pengalaman "overthinking" atau lewah pikir yang menyiksa. Sebut saja itu nostalgia lewah pikir yang menyiksa. Serasa hampir mendekati paranoia.
Saat itu lima belas tahun silam.
Rabu, 22 November 2006. Pukul enam pagi. Setelah jadwal rutin minum jamu setiap pagi, yang cukup berguna menjaga vitalitas makhluk "nokturnal" seperti aku, iseng baca-baca koran kriminal ibukota.
Dari dulu hingga kini aku membiasakan diri tidak membaca satu jenis bacaan saja. Koran serius, jurnal politik, novel filsafat atau sejarah, buletin psikologi, sastra, info rumah tangga, tips ibu dan anak sampai tabloid infotaintment pun kuhalalkan dan kulibas.
Ada banyak ide atau inspirasi kehidupan luar biasa yang justru datang dari berita remeh-temeh dalam bacaan atau koran yang sering dianggap tidak bermutu atau low grade tersebut.
Namun sebuah berita pagi itu sungguh luar biasa. Luar biasa menyiksa mental sekaligus mengocok isi perutku. Bukan karena lucu. Justru sebaliknya.
Di Depok, Jawa Barat, pada Selasa siang, Jiwo, seorang wanita usia 35-an tanpa suami yang diduga mengidap kelainan jiwa membakar bayi yang baru saja dilahirkannya. Bayi laki-laki itu kemudian dibakarnya dan dimakan bersama kecap dan nasi. Ketika perbuatan itu diketahui warga sekitar, tinggal tersisa potongan tubuh bayi berupa kedua pangkal kaki dan paha. Bahkan ari-ari bayi itu masih terlihat menjulur dari kemaluan si wanita.