Ada kutipan bernas dari Pramoedya Ananta Toer dalam novel Bumi Manusia: "Kadang manusia dihadapkan pada sebuah pilihan dalam hidupnya. Jika tidak memilih saat itu ia tidak mendapat apa-apa."
Kurang lebih seperti itu bunyinya.
Ya, memilih!
Buat seorang peragu tentu alangkah beratnya. Buat seorang sembrono atau slebor sama juga sulitnya. Yang berbeda adalah reaksi mereka.
Si peragu akan tercenung lama dan kadang menyebalkan banyak orang karena banyaknya waktu untuk memikirkan pilihan yang akan diambil. Si sembrono justru akan tergesa-gesa mengambil pilihan tanpa masak-masak dipikir. Untuk kemudian menyesal. Si peragu juga kerap menyesal karena ia kehilangan momentum. Bukankah segala sesuatu itu indah pada masanya?
"Udah enak-enak kerja kantoran kok keluar sih?"
"Ih, sudah ditawarin akhwat yang pernah jadi cover girl majalah malah nolak. Kenapa sih?!"
"Kan enak jadi wartawan infotainment, bisa ketemu artis. Soal nurani mah dikesampingkan dulu!"
Itu sederet reaksi atas pilihan-pilihanku dulu dalam hal karier dan jodoh.
Yang pertama, 2005, ketika memutuskan keluar dari jabatan sebagai penerjemah skenario sinetron pada sebuah griya produksi (production house) besar di Jakarta. Mereka saat itu populer sebagai produsen sinetron-sinetron penjual mimpi papan atas.