"Dirampok atau hati dilukai, tidak berarti apa-apa kecuali jika Anda terus-menerus mengingatnya." (Konfusius)
Menjadi penerjemah dan penulis sama sekali bukan cita-cita saya. Barangkali ini lebih sebagai jalan hidup. Dan jalan hidup itu berawal dari sebuah hati yang terluka sekitar tiga dekade lalu, pada awal 90-an. Sebuah luka hati yang saya rasa menjadi titik balik dalam hidup saya.
Ya, hari itu, saat jam istirahat Sekolah Arab (sebutan orang Betawi untuk Madrasah Diniyah setingkat SD) sekitar pukul 2 siang, adalah hari yang paling saya kenang dengan segala macam rasa di dada.
"Eh, sudah nonton film di TV semalam?" ujar saya saat kongkow di warung Bang Nashar di depan sekolah.
"Film apa?" sahut teman-teman antusias. Saat itu saya sudah dikenal sebagai movie freak (penggemar berat film). Meskipun stasiun televisi di negeri ini saat itu masih TVRI saja, dan film hanya sekali diputar di ujung acara, pukul sebelas malam.
"Itu Believe it or Not, yang tentang keajaiban-keajaiban di dunia," lanjut saya, siap-siap hendak bercerita.
"Huh! Nyebut judulnya saja nggak becus!" sergah salah seorang kakak kelas kami, yang saat itu ikut nimbrung. Ia lantas tertawa terbahak-bahak dengan gaya yang luar biasa menyebalkan.
Saya tersentak. Rasanya saya menyebutkan judulnya dengan benar. Sialnya, teman-teman saya ikut-ikutan tertawa.
Ya, jadilah saya objek tertawaan!
Padahal biasanya saya jadi pusat perhatian dan kekaguman karena mampu menceritakan kembali isi film yang ditonton dengan detail. Termasuk Hunter, sebuah serial action kegemaran kami saat itu.