Apa pun caranya, menulis tidak berbeda dengan berolahraga. Ia butuh energi. Jika energi pendorong lemah, yang lahir hanyalah tulisan yang alakadarnya, loyo, dan tidak punya ruh atau jiwa.
Jika ia manusia, tulisan semacam itu hanyalah mayat, yang tidak bernyawa. Atau bahkan bangkai.
Percayalah, seperti kata Dale Carnegie, no one kick the dead dog. Tidak ada yang peduli dengan bangkai. Karya-karya tulisan yang bagus-bagus dipuji sekaligus, ada juga yang, dikritik keras atau dicerca karena mereka hidup, bernyawa.
Contohnya, roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck gubahan Buya Hamka atau novel Belenggu gubahan Armin Pane pada zamannya juga pernah dicap picisan, cabul dan cengeng. Namun perjalanan waktulah yang menggosok intan agar cahaya yang memancar cemerlang adanya. Demikianlah yang terjadi pada kedua karya tersebut yang kemudian melegenda dalam jagat sastra Indonesia.
Nah, bagaimana memunculkan energi dalam tulisan? Bagaimana agar proses penggosokan intan dalam karya-karya kita kelak memunculkan cahaya yang juga cerlang gemilang?
"If I have seen further than others, it is by standing upon the shoulders of giants," ujar ilmuwan Isaac Newton saat ditanya keberhasilannya menemukan berbagai teori fisika termasuk Teori Gravitasi.
Jika Newton dapat melihat lebih jauh karena berdiri di atas bahu para raksasa (baca: para ilmuwan besar pendahulunya), demikian juga kita sebagai penulis. Kita dapat (dan semestinya) belajar dari para penulis senior dan para maestro kata.
Sejurus dua jurus dapatlah kita berguru dari para pendekar kata di belantara persilatan literasi nusantara dan mancanegara.
Jurus pertama: Jadilah diri sendiri
Menurut John Cowper Powys, filsuf dan novelis Inggris, "Yang penting bagi setiap pengarang ialah jiwanya sendiri; apa yang dimilikinya dalam kepalanya, dalam alat-alat panca inderanya, dalam watak dan pribadinya, dalam darah dan temperamennya."