Musim penghujan datang, banjir pun bertandang.
Terlepas dari segala dampak buruknya, banjir adalah peristiwa yang mempertemukan banyak orang.Termasuk juga di salah satu kawasan di selatan Jakarta ini.
Sesama warga yang jarang bersua bisa saling bertemu di tempat pengungsian. Saling melakukan kegiatan bersama. Seperti mengantre mandi bersama di kamar mandi kantor kecamatan. Yang bersama adalah antrenya, bukan mandinya.
"Lama juga ya kita enggak ketemuan," ujar Tanto. Ia bertemu Samir, kawan sebangkunya semasa SMP.
Mereka sedang duduk-duduk di depan posko bantuan korban banjir. Keduanya asyik menikmati nasi bungkus berlauk telur rebus dan tempe orek yang dibagi-bagikan para petugas dan sukarelawan posko.
Meski sama-sama korban banjir, posisi Tanto sebagai pengungsi lebih tinggi. Ya, karena dia beserta keluarganya tidur di lantai dua kantor kecamatan. Sementara Samir beserta keluarga bermalam di lantai dasar.
Saat banjir saban tahun, sebagian lantai gedung kantor kecamatan berlantai empat itu dipergunakan untuk tempat pengungsian.
"Udah dua puluh tahun, kalo nggak salah," sahut Samir.
"Tapi gue heran, Mir. Kok elo ngungsi juga?" tanya Tanto. "Kan rumah lu nggak kebanjiran. Tempatnya kan tinggi dekat tanjakan."
"Gue nggak enak, To."