"Warga Jakarta Mengecam Tindakan Anarkisme".
Demikianlah spanduk seruan tersebut bertebaran di sekujur kota Jakarta selepas aksi besar-besaran menolak Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker), yang awalnya bernama UU Cipta Lapangan Kerja (dipelesetkan menjadi UU Cilaka) pada 8-9 Oktober 2020. Terutama di kawasan Dukuh Atas, Sudirman, di dekat Stasiun KRL Bandara BNI City tempat spanduk itu terpasang dan saya abadikan dengan kamera ponsel saya.
Ada juga spanduk yang berbunyi "Kami, Warga Jakarta, Mengecam Anarkisme" atau yang bernada serupa.
Apa pun redaksionalnya dan siapa pun pihak pemasangnya atau sponsornya, tentu sudah keluar biaya besar. Tapi mestinya tidaklah mahal untuk sekadar biaya sewa jasa editor atau sekadar membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) agar kalimatnya tidak salah.
Menurut KBBI, "anarkisme" adalah "ajaran (paham) yang menentang setiap kekuatan negara; teori politik yang tidak menyukai adanya pemerintahan dan undang-undang".
Sementara "anarki" adalah "(1) hal tidak adanya pemerintahan, undang-undang, peraturan atau ketertiban; (2) kekacauan (di suatu negara)". "Anarkis" sendiri bermakna "pelaku anarki".
Maka kalimat yang benar semestinya "tindakan anarkistis". Karena "anarkistis" didefinisikan sebagai "bersifat anarki".
Jadi, frasa "tindakan anarkis" yang populer selama ini di ruang publik dan media sosial adalah sebuah kesalahkaprahan.
Di sisi lain, penggunaan "vandalisme" ("vandal" untuk pelakunya dan "vandalis" untuk sifat perbuatannya) sebetulnya sudah cukup untuk menggambarkan tindakan pembakaran dan perusakan fasilitas umum yang dilakukan para oknum penyusup saat Aksi Tolak UU Ciptaker pada 8-9 Oktober kemarin.
Namun memang, untuk tujuan politis yang dikehendaki, istilah "anarki" atau kelas kata (parts of speech) atau kata kerabat (cognate) yang terkait dengan kata tersebut jelas sangkil dan mangkus (efektif dan efisien) untuk menghantam lawan politik atau memojokkan narasi besar yang diusung para demonstran.