Ada anggapan salah yang diyakini, bahkan dipropagandakan, sebagian kalangan penulis bahwa tulisan fiksi dan tulisan nonfiksi adalah dua kutub diametral, yang saling bertentangan.
Lebih jauh lagi, kalangan ini bahkan berpendapat bahwa genre (atau "gagrak" menurut mendiang Bondan Winarno, seorang jurnalis sepuh dan belakangan dikenal sebagai pemerhati dunia kuliner) nonfiksi adalah jauh lebih tinggi dan mulia harkat martabatnya daripada genre fiksi.
Benarkah?
Sejatinya, gagrak nonfiksi dan gagrak fiksi, keduanya, bukanlah seteru, justru saling melengkapi.
Penulis nonfiksi belajar mengembangkan imajinasi dan kreativitas merangkai kata dari gagrak fiksi. Sementara penulis fiksi menimba ilmu observasi dan pengamatan dari gagrak nonfiksi.
Nonfiksi mata air bagi fiksi
"Tulisan nonfiksi adalah mata air bagi tulisan fiksi," ujar Herry Nurdi, seorang jurnalis senior dan juga novelis. Belakangan mantan pemimpin redaksi majalah Sabili, sebuah media Islam yang cukup ditakuti rezim Orde Baru di era 80-an, itu juga aktif sebagai pendakwah agama Islam.
Demikianlah filosofinya.
Jika isi tulisan, bahasa tulisan atau bahasa ngeblog terasa terlalu mengawang, tidak logis atau tidak realistis, mungkin itulah salah satu penyakit utama banyak penulis pemula.
Barangkali, sebagaimana dalam dongeng, obatnya adalah mencari air penyembuh dari mata air abadi.
Mari belajarlah langsung dari sumber, dari mata air abadi. Ia dekat dengan kita, dalam keseharian kita.