Lihat ke Halaman Asli

Nursalam AR

TERVERIFIKASI

Penerjemah

Terbit Pandemi, Haruskah Empati Menepi?

Diperbarui: 3 Mei 2020   23:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Spanduk penolakan pemakaman korban COVID-19, bukti defisitnya empati/Sumber: rmol.id

Pandemi global COVID-19 yang turut menerjang Indonesia membawa banyak perubahan besar dalam banyak aspek kehidupan bermasyarakat. Salah satunya adalah perihal empati.

Jika sekadar berucap iba atau kasihan kepada seseorang yang menderita, itu baru sebatas simpati. Namun, jika ucapan iba atau kasihan di lisan itu turun ke hati dan membuat kita merasa serasa berada di posisi orang yang menderita tersebut, itulah namanya empati.

Ada pepatah suku Indian Amerika Serikat yang terjemahan versi bahasa Inggrisnya berbunyi: "You will never understand another person until you have walked in his moccasins for two moons."

Kamu tidak akan pernah memahami orang lain sampai kamu telah merasakan berjalan dengan mokasin (sepatu bulu khas suku Indian) miliknya selama dua purnama. Kurang lebih demikian maksudnya.

Kutipan kata bijak lainnya mengatakan, "Treat others as you yourself wants to be treated."

Perlakukanlah orang lain sebagaimana dirimu sendiri menginginkan diperlakukan serupa.

Itulah empati, menempatkan posisi kita dalam posisi seseorang, sehingga derita yang dirasakannya juga menjadi derita kita. Kesadaran empatiklah yang mendorong kita merogoh kocek kita, yang mungkin juga agak kering karena terdampak pandemi, untuk membantu para korban terdampak COVID-19 atau membeli perangkat Alat Pelindung Diri (APD) untuk para petugas medis sebagai benteng terakhir terhadap serbuan COVID-19.

Andai kita berempati, dan merasakan duka seorang ibu perawat yang kehilangan puterinya karena COVID-19, tentulah kita tidak akan menolak jenazahnya tersebut hanya karena egoisme dan paranoia kita.

Beberapa penolakan serupa merebak di mana-mana, mulai dari Depok, Semarang, Solo, Mojokerto, Banyuwangi hingga Sulawesi.

Andai kita punya rasa empati yang kuat, tentulah kita tidak akan santuy keluyuran keluar rumah tanpa tujuan jelas dan melanggar aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), sehingga justru menjadikan kita sebagai Orang Tanpa Gejala (OTG) alias carrier yang menjadi perantara virus berbahaya tersebut bagi keluarga dan orang-orang tercinta di rumah kita.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline