Selain wabah virus Korona, Indonesia tengah diramaikan dengan berita topan. Bukan topan si angin ribut. Tapi Andi Taufan Garuda Putra, sang tokoh muda pendiri suatu perusahaan pembiayaan teknologi finansial (tekfin) yang masyhur dan kini telah menjadi salah seorang staf khusus Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama beberapa tokoh kaum langgas (milenial) berprestasi lainnya.
Ramainya pun bukan soal prestasi bos Amartha itu, tetapi perihal surat Taufan berkop Sekretariat Kabinet (Setkab) kepada para camat di Indonesia agar membantu aktivitas perusahaan tekfin miliknya tersebut di wilayah kekuasaan mereka masing-masing dalam upaya penanggulangan COVID-19.
Terlepas dari apakah itu terindikasi praktik korupsi karena penyalahgunaan kekuasaan atau sekadar kekurangpahaman atas administrasi kepemerintahan, surat sang stafsus milenial itu dapat dikategorikan sebagai "katebelece".
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), "katebelece" adalah "(1) surat pendek untuk memberitakan hal seperlunya saja; (2) surat pengantar dari pejabat kepada pihak lain untuk urusan tertentu".
Di era Orde Baru (1966-1998), katebelece juga biasa disebut "surat sakti". Karena kesaktiannya, lumrah saja saat itu banyak terjadi "keajaiban" dalam proses pemerintahan. Bahkan konon banyak anak pejabat negara yang berhasil diterima di universitas negeri bergengsi di negeri ini kendati nilai ujian masuk tak mencukupi. Itu semua karena katebelece yang sakti itu.
Namun, jauh sebelum Orde Baru, praktik ilegal seperti itu juga lazim dikenal, baik di era Orde Lama maupun era sebelumnya, termasuk era VOC Belanda.
Baca Juga: False Friend, Kawan Palsu yang Kadang Lucu
Bahkan kata "katebelece" sendiri berasal dari bahasa Belanda, yakni "kattebelletje" yakni "sehelai kertas bertulisan; surat yang ditulis pada sobekan kertas, pendek dan tak rapi" (Kamus Umum Belanda Indonesia, Prof. Drs. S. Wojowasito, Jakarta, Penerbit Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999).
Pada awalnya, surat sakti itu hanya berupa secarik atau sehelai selipan kertas dengan maksud agar tidak mudah diketahui orang lain, atau untuk menghindari pemantauan atau pengawasan birokrasi.
Seiring zaman, selipan kertas itu pun bertransformasi menjadi surat legal bercap resmi, dalam bentuk rapi, dan bersifat terbuka. Namun, esensinya tetap sama, penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan. Dampak kerusakannya pun tetap sama, meluluhlantakkan, seperti akibat terjangan angin taufan (versi tidak baku dari "topan") yang melanda.
Alhasil, sebut saja itu "katebelece topan".