Sewaktu Sekolah Menengah Atas (SMA), ada siswa baru pindahan dari Bali ke sekolah saya. Namanya Ayu. Orangnya jelita, seindah namanya.
Selayaknya bunga merekah, banyak kumbang yang mendekat. Ada saja lelaki yang menggodanya. Termasuk salah seorang rekan sekelas saya yang anak Betawi asli. Sebut saja namanya Udin.
"Ayu, tau nggak kalo kita nikah, siapa nama anak kita?" goda si Udin sewaktu jam istirahat sekolah.
"Siapa?" balas Ayu santai. Baginya, Udin hanya teman biasa yang suka berseloroh.
"I Gede Banget!"
Tawa pun meledak. Duh, Udin!
Gede, sama seperti Nyoman, Ketut, Ayu, Desak, atau Dewa, adalah salah satu nama anak dalam struktur keluarga Bali yang ditetapkan berdasarkan sistem kasta dalam ajaran agama Hindu Bali.
Bertahun-tahun kemudian, juga sebagai anak Betawi asli, saya baru menyadari bahwa pengaruh bahasa Bali ternyata cukup besar dalam bahasa Betawi Jakarta.
Sebagai bahasa yang bersifat eklektik dan adaptif, seperti kuliner khasnya yakni gado-gado, bahasa Betawi (atau, menurut pekamus Abdul Chaer, "bahasa Melayu dialek Jakarta") memang campur aduk karena mengadopsi banyak kata serapan baik dari bahasa asing (Belanda, Tionghoa, dan Portugis) maupun dari bahasa daerah atau etnis lain di Indonesia, seperti Sunda, Jawa, dan juga Bali.
Baca Juga: Perlukah Jadi Fanatikus KBBI?
Dalam catatan Alif Danya Munsyi atau Remy Sylado, salah seorang budayawan multi-talenta Indonesia, dalam bukunya yang berjudul 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing (Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2003), sufiks verbal "-in" yang digunakan dalam percakapan sehari-hari bahasa Betawi, seperti biar-in, kelar-in, beres-in, dll berasal dari bahasa Bali.