Dari keempat kandidat untuk posisi Kepala Otoritas Badan Ibu Kota Negara (BO IKN), yang disebut Jokowi sebagai "CEO", Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dengan nama besar dan popularitasnya dianggap sebagai kandidat terkuat untuk posisi anyar nan prestisius tersebut.
Dengan rekam jejak sebagai mantan Bupati Belitung Timur, anggota DPR dan wakil gubernur serta gubernur DKI Jakarta, portofolio Ahok yang juga putera saudagar Kristen Tionghoa asal Bangka Belitung kelahiran 29 Juni 1966 (53 tahun) tersebut memang sangat mentereng.
Ditambah lagi dengan modal kedekatan Ahok secara personal dengan Presiden Jokowi, mantan pasangan duetnya di Pilkada DKI 2012, yang tampaknya tetap mempercayainya hingga belum lama ini menunjuknya sebagai Komisaris Utama Pertamina, suatu BUMN migas vital di negeri ini.
Namun, benarkah Ahok benar-benar kandidat tak tertandingi dan langkahnya akan mulus begitu saja untuk menjadi Kepala BO IKN?
Di atas kertas, prediksi dan harapan Ahoker (sebutan untuk kubu pendukung Ahok sejak era pilgub DKI 2012) dan banyak pengamat politik tampaknya demikian.
Bagi sebagian kalangan pendukung militan, bahkan profil dan latar belakang alumnus Universitas Trisakti dan Magister Manajemen Universitas Prasetya Mulya itu tak perlu disigi lagi dan tak perlu diperbandingkan lagi untuk posisi BO IKN 1 tersebut, karena rekam jejak serta popularitas yang luar biasa tersebut dari mantan kader partai PPIB (Partai Perhimpunan Indonesia Baru), Golkar, dan Gerindra tersebut.
Meskipun, sejujurnya, popularitas politik toh tidak lahir di ruang vakum, karena ada kontribusi spin doctor (lembaga survei, pakar pencitraan, dan tim think tank politik, dll) dan atribut sebagai media darling yang turut berperan dalam proses pembentukannya.
Kubu Ahoker tampaknya alpa bahwa antara prediksi politik dan realitas politik serta fakta lapangan tidak selalu berjalan linear, kadang sering mengejutkan. Terlebih belakangan ini terjadi peningkatan tensi serangan politik kepada Ahok dari berbagai kubu penentangnya, salah satunya kubu Persatuan Alumni 212 (PA 212) dan kalangan intelektual oposan, antara lain Rizal Ramli dan Said Didu.
Serangan tersebut terentang mulai dari alasan "dosa masa lalu" Ahok terkait isu agama (pelecehan ayat Al-Qur'an dan isu pemurtadan istri mudanya), isu rumah tangga (perseteruan dengan mantan istri dan anak kandungnya) maupun isu korupsi RS Sumber Waras dan pengadaan bus Trans Jakarta dan juga klaim "tak ada kisah keberhasilan" (success story) yang ditorehkan oleh mantan suami Veronica Tan tersebut. Sehingga penunjukan Ahok sebagai Komisaris Utama Pertamina dianggap lebih sebagai buah perkawanan dengan Jokowi alih-alih bukti prestasi atau kapasitas kepemimpinan.
Ahok juga sering dianggap mendramatisasi kesulitan politiknya (antara lain melalui penerbitan buku dan serangkaian seminar jumpa penggemar serta pertemuan dengan media) menjadi kisah melankolis kaum minoritas dengan romatisme perjuangan zero to hero yang acap mengundang simpati publik yang lihai dikapitalisasinya sebagai modal sosial politik. Terlebih lagi dengan kemampuan komunikasi publiknya yang piawai dan tentu saja dukungan dana dari para taipan yang tak tanggung-tanggung.