Lihat ke Halaman Asli

Nurhadi

Mang Hadi Bae

Opini: Orang-orang yang Pendiam

Diperbarui: 9 April 2020   17:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Seluk beluk kehidupan memang selalu menarik untuk di tuang dengan tinta, lalu di kisahkan kepada: siapa saja. Sedang saya tidak akan mengajak anda untuk terbang yang menduga-menduga, dengan begini lalu begitu. Karena benar juga menurut, Jaques Derrida, filsuf asal perancis, bahwa apa yang kita ketahui hanyalah bagian dari jejak realitas, bukan realitas itu sendiri. Orang bisa berteori beratus-ratus bab, berkitab-kitab, dan tentu itu hanyalah ilusi.

Sebab realitas adalah pandangan. Seberapa mungkin akan disempitkan dalam kehidupan yang begitu luas ini, sedangkan pandangan diciptakan dari sebuah pendirian yang kokoh dan beragam. Akal pikiran memang senjata sekaligus amunisi untuk menerjang titik merah, namun lupa bahwa ia bisa meleset dan tak tepat sasaran. Apa itu realitas? Saya tidak tahu. Begitu pun sama dengan anda! Sama-sama sebagai ketentuan yang bergerak dengan keterbatasan.

Seperti pada suatu peristiwa yang terjadi di pasar, terdapat seorang filsuf asal yunani yang bernama socrates, seketika lantang berbicara "wahai! sesungguhnya kalian harus mengetahui siapa diri mu sendiri". Itu mengundang pertanyaan dari salah seorang "lalu apakah kamu tahu siapa dirimu itu sendiri?". Socrtes, menjawab "saya tidak tahu, tapi saya tahu bahwa saya tidak tahu". Itulah mengapa sebagai ketentuan yang terbatas, sejatinya manusia harus bijaksana dan mengakui kekurangannya.

Karenanya tidak ada yang tahu kapan daluwarsa dari pandangan itu, yang pasti dunia tidak stagnan. Kicauan cemara akan berbeda dengan cemara lainnya, walau dalam bentuk yang sama (ada yang melengking, pula ada yang redup). Begitupun realitas, ia merupakan pandangan-pandangan yang sejatinya ilusi. Jikalau ada yang merasa mutlak atas realitasnya, berarti ia hidup dalam tempurung. Bisa saja ia menopang dogmanya tapi untuk sementara waktu, selanjutanya rapuh.

Namun jangan serta merta karena "terbatas" ini, banyak orang memelihara keragu-raguan untuk tidak berbuat apapun. Itu sama saja suatu tindakan yang apatis terhadap semesta yang sudah membekali akal pikiran, tapi di sia-siakan. Saya sedang tidak menstimulasikan itu kaum nihilis, sebab mereka juga sebenarnya berfikir untuk sampai di titik yang menyatakan hidup tidak ada tujuannya. Masuk akal memang, tapi saya sukar untuk menerimanya di akal, sebab itu kontingensi.

Seperti yang anda ketahui tentang "orang", masing-masing pasti memiliki kenyamanan nya yang beragam, entah itu di benarkan atau membenarkan, semuanya tergantung yang lain. Yang lain itu adalah cermin terhadap pribadi sendiri, yang kalau menurut Slavoj Zizek, filsuf asal slovenia, bahwa "Aku menjadi aku karena kamu". Koreksi terbaik adalah cerminan yang lain itu. Dan itu pun bukan realitas, karena itu dapat berubah, sekalipun pada seorang yang pendiam.

Sebagian orang akan terusik dengan kehadiran si "pendiam" di lingkungan barunya. Bukan dengan suaranya yang lantang atau tingkahnya yang kurang ajar, melainkan kedataran sikapnya yang tidak sama sekali cocok pada setiap cuplikan waktu. Orang menganggap ketidak cerdasan ialah seseorang yang pendiam. Asumsi itu tumbuh hanya pembenaran dari inderawi saja untuk menstempel si pendiam adalah beban.

Sebagai bukti:

Seberapa besar kemungkinan si pendiam akan diajak terlibat untuk menjadi bagian yang diperhitungkan? Sangat kecil. Orang beranggapan si pendiam akan selalu mengikuti ekor hasil konsensus saja, dan itu pasti. Tidak buruk. Tapi bagaimana terdapat suatu anggapan bahwa: si pendiam hanyalah beban semesta, karena adanya tidak membawa perubahan yang pasti, sebab ia amat lambat. Akhirnya banyak orang yang mengacuhkannya.

Hakikat Pendiam

Di atas tadi hanya sepenggal kecil dari apa yang terjadi, banyaknya tidak ada yang berbeda, yaitu ujung-ujungnya pasti di acuhkan dan di kucilkan dengan berbagai persepsi. Namun apa yang mereka telah lakukan adalah pandangan yang tidak realitas, selanjutnya pasti rapuh. Dan perlu bagi semua untuk berpandang luas sebelum memberikan suatu kesan.

Berpandangan luas itu tidak merasakan buah yang satu saja (mutlak). Tapi untuk mengertinya perlulah berenang di danau yang tenang. Sehingga dapat mengetahui misteri apa yang dapat di ambil selepasnya. Apakah di danau yang tenang itu setenang seperti yang di lihat, atau tiba-tiba suasana menjadi mencekam dari reptil yang mengincar (kita) sejak tadi. Maka dari itu, penting untuk tidak melahirkan suatu kesan atas perhatian dari pikiran sendiri saja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline