Lihat ke Halaman Asli

Nur Ramadhanty

Mahasiswa Ilmu Politik

Optimalisasi Pencegahan Kembalinya Korupsi: Reformasi Internal KPU Jawa Barat

Diperbarui: 2 Februari 2024   09:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam masa pemilu, sumber pendanaan kampanye biasanya berasal dari sumbangan anggota partai politik. Memberikan sumbangan secara sukarela adalah bentuk dukungan positif antara anggota partai dan kandidat yang mencalonkan diri dalam pemilu. Anggaran kampanye dalam pemilu memainkan peran penting karena politik uang merupakan salah satu cara untuk menyampaikan informasi kepada pemilih dan mendorong demokrasi yang inklusif (Hurriyah, Fuadil 'Ulum, 2022). Sesuai dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 18 Tahun 2023, Komisi Pemilihan Umum (KPU) wajib menerima laporan tentang penerimaan dan pengeluaran dana kampanye partai politik saat masa kampanye berlangsung.

Menurut Van Biezen (2003), hubungan antara uang dan politik dapat menyebabkan potensi kecurangan, gratifikasi, dan korupsi. Korupsi dalam pengelolaan dana kampanye merupakan tantangan serius yang dihadapi oleh KPU. Besarnya dana kampanye dan kompleksitasnya meningkatkan risiko korupsi. Korupsi mengenai dana kampanye sendiri bukan hanya terjadi di eksternal KPU seperti partai politik, namun juga bisa terjadi didalam internal KPU sendiri. Antara tahun 2014 dan 2020, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) mencatat 44 tindak pidana korupsi yang melibatkan anggota KPU/KPUD (Secha, 2022). 

Ada berbagai teori yang menjelaskan penyebab korupsi. Menurut G. Jack Bologna, korupsi disebabkan oleh empat faktor yang dikenal dengan teori GONE, yang merupakan singkatan yaitu Greed (keserakahan), Opportunity (kesempatan), Need (dorongan manusia untuk memenuhi kebutuhannya), dan Exposure (tindakan yang diambil jika seorang koruptor tertangkap). Dalam konteks korupsi, ada beberapa undang-undang yang terkait, seperti UU No. 31 tahun 1999 dan UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan undang-undang lainnya. Mengacu pada teori yang dipopulerkan oleh Donald R. Cressey, terdapat tiga kondisi yang dapat menyebabkan kecurangan, yang dikenal sebagai segitiga penipuan (fraud triangle): (1) tekanan: situasi di mana manajemen atau staf merasa terdorong atau tertekan untuk melakukan kecurangan; (2) kesempatan: situasi di mana manajemen atau staf memiliki kesempatan untuk melakukan kecurangan; dan (3) sikap/rasionalisasi: situasi di mana sikap, karakter, atau nilai-nilai memungkinkan manajemen atau staf untuk terlibat dalam perilaku tidak jujur.

Andi Hamzah menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap korupsi di Indonesia, diantaranya: (1) rendahnya pendapatan atau gaji pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang terus meningkat; (2) budaya Indonesia yang menjadi dasar meluasnya korupsi; (3) manajemen yang buruk dan pengawasan yang tidak efektif; dan (4) modernisasi (Hamzah, 2005: 13-23). Namun, meskipun dengan alasan-alasan tersebut, tetap saja korupsi tidak dapat dibenarkan. 

Kasus korupsi dana kampanye yang terjadi di internal KPU pernah terjadi beberapa kali di berbagai daerah dan provinsi. Sebagai contoh, melansir dari kompas.com, lima komisioner KPU Fakfak melakukan tindak pidana korupsi dana hibah kampanye pada Pilkada 2020 lalu dan baru dijatuhi hukuman pada 2023. Mereka melakukan tindakan ini dengan menandatangani dokumen pembayaran (SPBY) fiktif, membuat laporan, dan memerintahkan pencairan kepada pihak yang tidak berwenang. Tindakan ini pun tentu merugikan negara karena penyidik mengatakan bahwa kerugian yang diakibatkan mencapai Rp 5 miliar. 

Bukan hanya itu, jika berfokus pada lingkup Jawa Barat, tindak pidana korupsi pun pernah terjadi di KPU Jawa Barat pada tahun 2022. Tindak pidana korupsi ini dilakukan oleh salah satu Komisioner KPU Jawa Barat yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Ketua KPU Depok, Titik Nurhayati. Dirinya ditetapkan sebagai tersangka  karena diduga menggunakan audit dana kampanye dan dana hibah kegiatan fasilitas kampanye di Kota Depok pada tahun 2015. Mengutip dari Sindonews.com, menurut laporan yang ada, tersangka menerima dana hibah tersebut dari Pemkot Depok berdasarkan Keputusan Wali Kota Depok tanggal 23 Maret dan 30 Oktober 2015. Alokasi dana hibah tersebut seharusnya digunakan untuk kegiatan fasilitas kampanye dan audit dana kampanye pada tahun tersebut. Oleh karena itu, tersangka diduga telah menyalahgunakan jabatannya sebagai Ketua KPU Kota Depok.

Semua bentuk korupsi tentu merugikan negara mau berapapun jumlahnya. KPU yang seharusnya menjaga integritas lembaganya dengan melaksanakan tugas sebaik mungkin malah menyebabkan hal sebaliknya. Kasus korupsi dana kampanye yang terjadi dari kedua kasus tersebut terbukti bahwa kasus korupsi baru mendapatkan penindakan dalam jangka waktu yang cukup lama hingga bisa menangkap dan menghukum tersangka. Padahal, sesuai dengan PKPU no.18 Tahun 2023, KPU memiliki kewenangan dan tugas untuk terus mengawasi dana kampanye. Rasanya aneh jika KPU memberikan perhatian khusus pada dana kampanye yang diberikan kepada lembaga eksternal tanpa dan memberikan perhatian yang minim mengenai dana kampanye pada lingkup internal. Dari sini bisa diketahui bahwa KPU, dalam konteks ini KPU Jawa Barat perlu menerapkan strategi khusus untuk menjaga integritas lembaganya. Lantas, upaya apa yang telah dilakukan oleh KPU Jawa Barat untuk mencegah dan meminimalisir kemungkinan korupsi di internalnya. Berdasarkan hasil wawancara penulis narasumber  dari KPU Jawa Barat menyatakan bahwa salah satu upaya pencegahan, yaitu modernisasi pengadaan logistik dengan menggunakan e-catalog, telah dilakukan di internal KPU. Proses ini difasilitasi oleh Sekretariat Jenderal KPU RI dengan tujuan utama untuk meminimalisir atau bahkan menghilangkan potensi tindak pidana korupsi di lingkungan KPU. 

Narasumber menambahkan bahwa KPU Jawa Barat telah mengimplementasikan sistem pengawasan internal yang bertujuan untuk melakukan verifikasi sebelum informasi diserahkan kepada penegak hukum jika terbukti adanya pelanggaran. Ia menekankan bahwa KPU Jawa Barat sudah memiliki mekanisme pengawasan internal, termasuk audit yang dilakukan oleh Inspektorat Utama, sebagai langkah awal sebelum penegak hukum mengambil tindakan. Narasumber juga menegaskan bahwa pihaknya tidak akan membela jika terbukti melakukan tindak pidana korupsi, tetapi jika tidak terbukti, KPU Jawa Barat akan melakukan verifikasi lebih lanjut.

Bukan hanya itu, menurut narasumber, saat ini KPU Jawa Barat sedang memperkuat sistem internalnya melalui kerja sama dengan KPK. Mereka berkomitmen untuk terus menerapkan tindakan preventif guna meminimalisir dan menghilangkan potensi tindak pidana korupsi di lingkungan KPU Jawa Barat. Sebagai bagian bentuk kerjasama, salah satu program yang diusulkan KPK tahun ini adalah Paku Integritas. Program ini bertujuan untuk memperkuat aspek antikorupsi bagi penyelenggara negara yang berintegritas. Dalam rangka menciptakan lingkungan politik yang bersih, KPK memberikan Paku Integritas kepada pejabat di dua lembaga penyelenggara pemilu, yaitu KPU dan Bawaslu, melalui pendekatan pendidikan. 

Tidak berhenti sampai disitu, menurut penulis, meskipun KPU Jawa Barat saat ini sedang melakukan penguatan internal dan bekerjasama dengan pihak eksternal dalam pemberantasan korupsi di lingkup lembaganya sendiri, namun KPU Jawa Barat masih harus tetap memperkuat sistematisasi proses pemantauan untuk terus mendeteksi potensi kecurangan. Selanjutnya, perlu adanya evaluasi berkala untuk terus menutup kemungkinan peluang terjadinya kembali korupsi. Upaya penyelesaian pun harus terus dikembangkan untuk memperkuat keberlanjutan dan efektivitas.

KPU pada hakikatnya memang lembaga penyelenggara pemilu yang dipercaya untuk ikut mengawasi dana kampanye selama masa kampanye dan pemilu berlangsung sesuai dengan peraturan yang tertera. Namun, tugas pengawasan ini seharusnya bukan hanya difokuskan kepada pihak eksternal, namun KPU juga masih perlu melakukan pengawasan terhadap internalnya sendiri. Dalam bahasan mengenai KPU Jawa Barat, salah satu kasus yang pernah terjadi harus menjadi pelajaran bagi lembaga ini untuk terus meningkatkan kualitas integritas yang dimiliki. Pengawasan ketat, evaluasi berkala, dan kerjasama dengan KPK memang menjadi kunci yang pas terhadap pemecahan masalah korupsi internal, namun perlu diingat bahwa KPU Jawa Barat harus terus menutup segala bentuk peluang sekecil apapun dalam mengatasi kecurangan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline