Sejak pemilu Indonesia 2009, ambang batas parlemen yang ditetapkan dalam Pasal 202 UU No. 10/2008 tentang parliamentary threshold telah berlaku. Gagasan ini mencoba untuk membuat penyederhanaan partai politik yang benar-benar dapat berbicara untuk rakyat menjadi lebih mudah. Namun, bagaimana tepatnya ambang batas parlemen bekerja secara realitas?
Ambang batas atau threshold menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah istilah yang merujuk pada tingkat batas yang masih bisa diterima atau ditoleransi. Sistem pemilu menggunakan ambang batas ini sebagai perhitungan untuk menentukan jumlah kursi dan suara dalam sistem representasi proporsional. Ambang batas pada awalnya digunakan dalam sistem pemilu untuk mengukur intensitas persaingan partai dalam memperebutkan kursi di daerah pemilihan.
Sedangkan untuk parliamentary threshold atau ambang batas parlemen sendiri menurut literatur kepemiluan, dianggap sebagai jumlah suara minimal yang harus diperoleh partai politik untuk mengajukan kandidatnya di parlemen (Marijan, 2011; Prihatmoko, 2005; Yuda, 2010). Gagasan ini dipandang sebagai alat untuk mengurangi kemunculan partai-partai politik baru dan mempersempit kesenjangan ideologis antar partai politik untuk meningkatkan efektivitas artikulasi dan agregasi kepentingan (Prihatmoko, 2008). Struktur sistem kepartaian, termasuk apakah akan menghasilkan sistem dua partai atau multipartai sebagai hasil pemilu, secara teoritis dipengaruhi oleh pengaturan ambang batas parlemen (Reynolds & Mellaz, 2011). Sebuah partai politik harus mendapatkan jumlah suara tertentu untuk memenuhi ambang batas parlemen agar bisa mendapatkan kursi di parlemen. Untuk mengirimkan kandidat ke parlemen di bawah sistem kepartaian Indonesia, partai politik harus memenangkan porsi tertentu dari semua suara sah yang diberikan.
Sejak pertama kali digunakan, parliamentary threshold mengalami kenaikan dalam persyaratannya. Jika melihat bagaimana penggunaannya, ambang batas parlemen pada awalnya digunakan pada pemilu 2009 dengan ambang batas parlemen 2,5%, meningkat menjadi 3,5% pada 2014, dan meningkat menjadi 4% pada 2019. Dalam rangka menciptakan sistem "multipartai sederhana" di Indonesia, persyaratan ambang batas parlemen dinaikkan (Partono, 2008). Lalu, apakah penggunaan parliamentary threshold yang terus meningkat ini adalah solusi yang tepat dalam konteks penyederhanaan partai?
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tujuan utama dari penerapan ambang batas parlemen adalah penyederhanaan partai politik yang semakin lama semakin membesar jumlahnya. Perubahan aturan parliamentary threshold memiliki signifikansi dalam mengurangi jumlah partai politik di parlemen. Bukan hanya itu, tujuan pemilu serentak berdasarkan ambang batas adalah untuk mengurangi jumlah uang dan waktu yang dihabiskan untuk pemilu. Pemilu tanpa ambang batas didasarkan pada keadilan komutatif, yang mendistribusikan jumlah yang sama (baik secara kualitatif maupun kuantitatif) kepada setiap orang tanpa mempertimbangkan kontribusi atau prestasi masing-masing.
Kherid (2021) memaparkan argumen bahwa pluralisme hukum menantang alasan di balik penurunan ambang batas yang semata-mata didasarkan pada partisipasi partai-partai politik di parlemen. Sebaliknya, pluralisme hukum menekankan pentingnya prinsip-prinsip, termasuk prinsip kemanfaatan. Prinsip ini mengakui bahwa memiliki terlalu banyak fraksi di parlemen dapat mengubahnya menjadi pasar politik, di mana kebijakan negara dapat disandera oleh persetujuan fraksi. Menurunkan ambang batas malah berpotensi mengubah parlemen menjadi ajang transaksional, yang mengakibatkan ketidakstabilan politik dan kesulitan dalam mengontrol anggaran negara.
Melalui sistem ambang batas juga, akan muncul sistem politik multi-partai yang lugas. Dengan adanya pemilihan umum serentak saat ini, pesta demokrasi lima tahunan ini akan menjadi ajang pemilihan umum yang lebih efisien. Partai-partai politik dievaluasi oleh publik berdasarkan tindakan dan ideologi mereka. Partai Demokrat, PAN, PPP, dan Hanura --kelompok-kelompok yang sering terlibat perselisihan internal-- semuanya akan menerima penilaian dari para pemilih melalui pemilu. PDIP, Golkar, Gerindra, NasDem, PKS, dan PKB, di sisi lain, menunjukkan kinerja yang baik dan menerima penghargaan. Parlemen akan dibentuk oleh multi-partai sederhana sebagai poros intelektual. Secara alami, partai-partai politik akan bersaing untuk menjadi yang terbaik (Kherid, 2021).
Meskipun memiliki beberapa kelebihan dalam pelaksanaannya, namun penerapan ambang batas parlemen yang semakin tinggi cenderung menuai kontroversi. Beberapa orang tidak setuju dengan klausul ini karena mereka menganggap ambang batas parlemen dapat membatasi hak-hak politik warga negara karena seorang kandidat tidak dapat duduk di parlemen jika mereka terpilih tetapi tidak memenuhi ambang batas parlemen, penerapan ambang batas parlemen di tingkat yang lebih rendah dapat menyebabkan konflik horizontal. Selanjutnya, penerapan ambang batas parlemen juga diyakini tidak memperhitungkan kepentingan seluruh potensi politik yang ada di Indonesia. Agustinus Tamo Mbapa, pengamat politik dari Institute Development for Local Parliament (IDELP) mengatakan penerapan ambang batas parlemen diyakini akan berdampak negatif terhadap proses demokrasi.
Tidak sampai situ, alasan penyederhanaan partai ini bertentangan dengan UUD 1945 dan seharusnya dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan alasan tersebut memiliki akibat terjadinya perlakuan yang tidak sama serta menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty) dan ketidakadilan (injustice) yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Penerapan ambang batas parlemen, menurut Philipus M. Hadjon, melanggar ide persamaan perlindungan di bawah hukum. Hadjon berpendapat bahwa Pasal 202 merupakan hasil dari kebijakan legislatif, pemerintah, dan DPR yang berubah-ubah. Ia menegaskan bahwa mungkin ada penyalahgunaan kekuasaan sebagai akibatnya. Sementara itu, Lodewijk Gultom menekankan perlunya perlindungan kepada semua pihak. Hal ini menyiratkan bahwa setiap orang yang berpartisipasi dalam pemilu dilindungi oleh hukum dan konstitusi. Gultom berpendapat bahwa Pasal 202 sangat rentan mendiskriminasi individu yang menggunakan hak pilihnya.
Patra M. Zein (2009), dalam beberapa kesempatan mengatakan bahwa karena begitu banyak suara yang akan hilang, ambang batas parlemen dapat mengebiri hak-hak pemilih. Titi Anggraini (2020) menegaskan bahwa penetapan ambang batas yang tinggi dalam pemilu dapat mengakibatkan hasil pemilu yang semakin tidak proporsional, di mana suara sah dari pemilih dapat terbuang percuma karena tidak dapat berkontribusi pada alokasi kursi. Penetapan angka ambang batas yang tinggi dalam pemilu dapat menyebabkan suara terbuang dan hasil yang tidak proporsional.
Meskipun menuai banyak pro dan kontra, ambang batas memang dapat menyederhanakan jumlah partai politik yang dapat memimpin karena hanya partai-partai yang dianggap mewakili rakyat yang dapat lolos. Sebagai contoh, pada pemilu 2009, di mana hanya 9 partai dari 38 partai yang mendaftar yang mendapatkan kursi DPR dengan penetapan threshold sebesar 2,5%. Meskipun pemerintah saat itu memiliki keinginan agar jumlah fraksi saat itu bisa mencapai angka ideal yaitu hanya lima atau enam partai, di sisi lain, hal ini merupakan suatu kesuksesan dan langkah awal dalam penyederhanaan multipartai.