Lihat ke Halaman Asli

Cinderella Hati Dennis

Diperbarui: 25 Juli 2015   13:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Mungkin ini adalah pertemuan yang paling tidak diinginkan oleh lelaki ini maupun gadis itu. Sabtu malam, mereka menuju ke sebuah kafe yang terletak di daerah Gombel, Semarang. Mereka duduk berhadapan, menikmati gemerlap cahaya kota Semarang dari atas. Indah sekali. Mungkin berbeda suasananya jika pertemuan ini mereka niatkan untuk menghabiskan waktu bersama. Yang terjadi justru sebaliknya.

“Elo tahu kan, elo itu  belahan jiwa gue,” ucap lelaki itu langsung sebagai pembuka percakapan. Tanpa ragu, tanpa malu, dan tanpa terburu-buru. “Dan kita sudah sepakat mengenai definisi itu sejak pertama kali mengetahuinya.”

“Ya,” gadis itu membenarkan. Ia tidak membantah atau menyela ucapan lelaki yang berada di depannya. Kau tahu arti belahan jiwa? Orang sering mengartikannya dengan soulmate; yang maknanya semakin pudar dengan kata couple. Jika couple adalah pasangan hidup, maka soulmate adalah pasangan jiwa; tidak harus berlawan jenis, tetapi mereka memiliki kesamaan jiwa yang tak pernah runtuh oleh apapun. Semacam ada ikatan batin yang kuat. Dan gadis itu mengakui bahwa lelaki itu adalah pasangan jiwanya; mereka cocok melakukan hal apapun bersama-sama. Apapun sebutannya, mereka ya mereka seperti apa adanya.

“Tapi elo nggak memilih gue,” laki-laki itu berkata lirih. “Padahal elo tahu, gue sudah pernah mengatakannya.”

Kini gadis itu mengalihkan pandangannya pada cahaya lampu yang bertebaran dari sudut matanya.

“Gue gak bisa memaksa elo, kan,” ucap lelaki itu lagi. Ia tertawa getir. “Mana mungkin elo memilih gue sebagai partner hidup di masa depan. Gue cuma pekerja seni biasa. Tidak memiliki bekal hidup apapun untuk hidup dengan lo. Elo memang berhak memilih yang lain, yang lebih baik tentunya.”

“Nah, itu lo tahu,” ucap gadis itu santai, tapi menikam. Ia tak pernah berkata sekeras ini pada lelaki ini sebelumnya, tapi ia merasa perlu kembali menegaskan. “Kalau sudah tahu begitu, mengapa lo tidak coba merelakan gue?”

“Gue hanya takut kehilangan lo seutuhnya,” laki-laki itu menjawab jujur sembari menatap kedua bola mata gadis yang berwarna cokelat itu. Dalam gelapnya malam pun warna iris matanya masih terlihat terang.

Gadis itu menggeleng. “Kita tentu masih bersama, tapi hanya sebatas itu.”

“Apa bedanya?” laki-laki itu bersikeras. “Gue ingin lo tahu, laki-laki itu gak cocok buat elo. Elo gak akan bahagia bersama dia.”

“Tidak adil,” Gadis itu menggumam. “Seandainya gue di posisi elo, gue gak akan mengatakan itu pada lo.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline