Lihat ke Halaman Asli

Kelap-kelip (2)

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kami bertemu lagi minggu berikutnya, di kafe yang berbeda. Kali ini spesial, karena Eland mengundang saya nongkrong bersama teman-teman bandnya, Dwiki dan Airlangga. Saya mengerutkan kening melihat kafe pilihannya. Musik romantis mengalun sampai ke luar. Dekorasinya dihias dengan lukisan taman-taman. Penerangannya sedikit gelap, meskipun tetap kuning. Oh, bukankah ini...

“Kok dimana-mana ada pasangan, sih?” Dwiki celingukan. “Kita mau nongkrong apa dinner?”

“Iya, bagian depan memang khusus pasangan yang mau candle light dinner, kalau buat nongkrong ada di belakangnya,” jawab Eland kalem. Ia tampak sangat menguasai area kafe ini. Saya tidak berbicara, karena sudah ketar-ketir memikirkan uang di dompet saya. Harga makanan di sini pasti lebih mahal daripada kafe langganan kami.

Tak lama, kami sudah mendarat di sebuah meja berbentuk persegi panjang dengan kursi panjang berhadap-hadapan.

“Jadi begini,” Eland membuka percakapan. “Sekarang saya menjomblo.”

“Apa?” saya, Dwiki, dan Airlangga serempak bertanya. “Kok bisa? Kamu..putus?”

Eland mengangguk. “Ya, semuanya. Kalau dipikir-pikir, kepala saya pecah memikirkan mereka sekaligus. Sudah lama saya merasa tidak terlalu merdeka.”

Airlangga tertawa. “Berarti, salah satu profesi lu jadi tukang antar jemput cewek berkurang, dong...”

Eland tidak menggubris perkataan anak Jakarta itu. “Yah, terserah. Sekarang kita makaaaan!”

Seperti yang diduga, harga makanan di kafe ini cukup mahal untuk ukuran mahasiswa. Tetapi Eland mengatakan tidak perlu khawatir, dia yang membayar semuanya. Haha, tumben amat baik tuh anak. Saya tidak khawatir saat memesan steak paling mahal sekalipun. Lumayan. Sekali-sekali...

“Ada apa?” tanyanya saat saya menatapnya dalam diam.

“Kamu berbohong,” jawab saya. “Ada alasan lain kamu tiba-tiba putus?”

Eland mengangguk pelan. “Ada. Kamu.”

Saya menatapnya tidak mengerti.

“Sebenarnya, saya kepikiran ucapan kamu mengenai track record saya sebagai laki-laki. Ya, reputasi saya pasti buruk sekali di mata kalian, terutama kamu. Sayang, saya masih belum mampu mengendalikan diri saya untuk tidak bermain-main dengan perempuan. Ketertarikan saya masih ada, saya hanya... mencoba berlaku bijak. Saya tidak ingin dikenal sebagai buaya. Tidak enak.”

Saya menghembuskan napas. Keras.

“Saya sudah menduganya,” ucap saya pelan. “Saya tahu kamu memiliki hati yang halus. Kamu masih bisa diarahkan.”

Eland tidak menjawab.

“Naaaah, ini dia!” Airlangga bersorak girang ketika pelayan datang membawakan minuman. Saya melotot. Botol apa ini? Kok sepertinya bukan Coca Cola atau Fanta?

“Nis, cobain deh! Lu belum pernah mabuk, kan?” Airlangga menuangkan sedikit whisky ke dalam gelasnya. Ia lalu menghabiskannya dalam sekali tegukan.

Saya menggeleng.

“Alaaah, dikit aja!” Dwiki ikut mengompori. Mereka berdua lalu mulai bernyanyi tidak jelas, dengan wajah yang memerah. Saya merinding. Saya selalu takut dengan perilaku orang mabuk yang ditayangkan di televisi, tetapi saya lebih takut lagi melihatnya secara live.

“Mereka mabuk,” bisik Eland dengan lirih. Ia lalu berkata,”Kita cabut duluan, ya. Nisa udah ngantuk, nih. Billnya saya bayar sekarang.”

Tanpa ba-bi-bu Eland menggandeng tangan saya keluar. Kalau tidak gemetaran, saya ingin menyeret Eland secepatnya dari situ. Kafe apa itu, merusak anak bangsa! Umpat saya dalam hati.

*

Sesampainya di depan kos saya, Eland tidak langsung pulang. Ia nongkrong dulu sambil menyalakan sebatang rokok. Saya masuk ke dalam dan keluar lagi membawa sebotol air putih dingin dan kue lapis legit dalam potongan yang lumayan besar.

“Nis, saya ingin kopi...”

Saya menggeleng. “Kamu terlalu banyak minum seperti itu. Sekarang minumlah air putih ini, untuk menetralkan racun di tubuhmu.”

Eland lalu menuangkan air putih dingin ke gelas kaca yang saya bawa. Sementara saya asyik mengunyah lapis legit.

“Kamu pernah mabuk?” tanya saya tanpa basa-basi. Eland terdiam, lalu mengangguk.

“Satu kali.. karena saya penasaran bagaimana rasanya.”

Saya mengangguk percaya.

“Kekasihmu ada yang pernah mabuk bersamamu?”

Eland tertawa. “Tidak. Paling banter melihat asap rokok saya mengepul.”

Saya meneguk air putih. “Syukurlah. Setidaknya kamu putus dengan kekasihmu tanpa meninggalkan belang.”

“Biar begini, saya punya prinsip tidak akan menyakiti anak orang,” ucap Eland.

“Secara fisik...iya. Tetapi secara batin, kamu bermain di belakang mereka dengan memiliki kekasih yang lain. Itu juga menyakiti,” saya meralat ucapannya yang saya pikir keliru. Eland tertawa getir.

“Sepertinya setiap laki-laki itu salah di matamu, ya?” ia menatap saya sambil tertawa kecil. “Kamu mengharapkan laki-laki yang tidak pelit, tidak main di belakang, selalu pengertian, tidak kaku, tidak bodoh, tidak miskin, dan tidak terjerumus dalam maksiat... dan laki-laki seperti itu tidak akan pernah ada.”

Saya tertawa lepas mendengar penuturannya. “Hahaha... benar. Benar, Land! Kamu lucu sekali,” saya masih tertawa sampai sakit perut. “Entahlah, saya belum terpikir sampai di situ. Tetapi ucapanmu tidak salah,” akhirnya tawa saya mereda. “Saya pikir nanti saja jika si cinta sudah datang. Selama ini saya baik-baik saja.”

Eland menggigit lapis legitnya. “Kamu pasti pernah mendengar pepatah ini, Nis. Laki-laki itu hanya ada dua macam; kalau nggak homo, ya bajingan. Saya mungkin termasuk tipe kedua.”

Saya tersenyum. “Setiap orang pernah mengalami masa lalu yang kelam, Land. Entah perilakunya, keyakinannya, atau apalah... saya tidak pernah merasa sebagai orang yang bijak, tetapi semoga tidak semua laki-laki seperti itu. Yang penting, bagaimana langkah ke depannya.”

Tiba-tiba, hujan datang mengguyur malam sendu ini. Kami terdiam.

“Kenapa sih, ada adat pacaran di masyarakat kita? Dan kenapa saat kita tidak punya pacar, rasanya seperti ada yang kurang, padahal kita memiliki banyak teman baik di sekeliling kita,” Eland tercenung sambil membuang puntungnya di asbak.

“Itu menarik,” jawab saya. “Saya rasa kita perlu menelisik sejarah pacaran, apakah berasal dari bahasa Yunani atau sejenisnya. Setahu saya, ada lho buku yang membahas itu. Dari perspektif ilmiah tentunya.”

Percakapan kami terhenti karena mendengar suara yang sangat saya kenal.

“Waaah, ada Mas Eland!” Dara, teman kos saya, berseru heboh. Otomatis beberapa penduduk kos saya yang lain berhamburan keluar, menyapa Eland yang memang terkenal di kalangan penghuni kos.

“Hai Land!” teman saya, Putri, langsung menjabat tangannya. Huh, norak amat siih...

“Halo, Dara. Hai, Put. Iya, tadi saya mau pulang, tapi kehujanan. Jadi saya berteduh dulu,” Eland menyambut dengan ramah.

“Jarang-jarang nih ada malaikat main ke sini,” cetus Dara lagi. “Main gitar dong, Land! Atau cerita sama kami... masa sama Nisa terus...”

Eland tertawa dikerubungi fansnya. Saya meliriknya, lalu berkata,” Godaan pertama datang, Land...”

Eland semakin tertawa puas. Rasanya ingin saya jitak kepalanya. Selain bass, Eland juga bisa bermain gitar, lho. Yah, dunia ini memang tidak adil. Setelah meminjam gitar Dara, mengalunlah lagu Sheila on Seven dari petikan gitarnya.

Di saat kita bersama..

Di waktu kita tertawa menangis merenung, oleh cinta...

Kau coba hapuskan rasa.. rasa dimana kau melayang jauh dari jiwamu, juga mimpimu...

Bersambung ke Kelap-kelip (3)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline