Bagi warga Jakarta, pasti mengenal namanya dari sebuah rumah sakit yang terletak di Jl. Diponegoro, Jakarta Pusat. Nama dr. Tjipto Mangoenkoesomo memang diabadikan untuk sebuah nama rumah sakit yang sebelumnya bernama Centrale Burgerlijke Ziekenhuis (CBZ) pada tahun 1964. Nama Tjipto Mangoenkoesoemo memang tidak bisa dipisahkan dari perjuangan para pejuang Indonesia melawan kolonialisme, mulai dari penjajahan Belanda hingga Jepang. Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo merupakan salah satu anggota "Tiga Serangkai", bersama Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara) dan Ernest Douwes Dekker (Danudirdja Setiabudi). Melalui "Tiga Serangkai", ia banyak menyebarluaskan ide pemerintahan sendiri dan mengkritik pemerintahan Hindia Belanda kala itu. Mereka jugalah yang mendirikan Indische Partij, sebuah organisasi politik yang pertama kali mencetuskan ide pemerintahan sendiri di tangan penduduk setempat.
Tjipto Mangoenkoesoemo lahir di Jepara, Jawa Tengah pada 4 Maret 1886. Ia merupakan putra tertua dari seorang priyayi rendahan dalam struktur masyarakat Jawa, yang bernama Mangoenkoesoemo. Tjipto Mangoenkoesoemo menempuh pendidikannya di STOVIA. STOVIA merupakan sekolah yang dikhususkan untuk seseorang yang ingin menempuh pendidikannya di kedokteran. Saat ini, STOVIA dikenal sebagai Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Pada 20 Mei 1908, Tjipto bergabung dengan Budi Utomo, sebuah organisasi yang didirikan oleh dr. Soetomo dan digagas oleh dr. Wahidin Soedirohoesodo. Organisasi ini didirikan di Yogyakarta dan tanggal pendiriannya kelak diperingati sebagai "Hari Kebangkitan Nasional". Setelah bergabung dengan Budi Utomo, jati diri politik dr. Cipto semakin terlihat. Dalam kongres pertama organisasi tersebut, terjadi perpecahan antara Cipto dan Radjiman Wedyodiningrat. Hingga akhirnya, Cipto memilih mundur dari organisasi yang melekat dengan kebangkitan nasional ini.
Setelah mundur dari Budi Utomo, dr. Cipto membuka praktek dokter di Solo. Ia juga berandil besar dalam memberantas wabah pes di Malang pada tahun 1911. Berkat jasanya, dr. Cipto mendapatkan penghargaan dari pemerintahan Hindia Belanda. Jiwa politiknya semakin menjadi setelah ia bertemu dengan Douwes Dekker dan Soewardi Soerjaningrat. Bersama dua tokoh tersebut, ia mendirikan organisasi politik yang bernama Indische Partij pada tahun 1912. Setahun kemudian, pada bulan November 1913, Belanda memperingati 100 tahun kemerdekaannya dari Perancis. Perayaan tersebut diselenggarakan secara besar-besaran di Hindia Belanda. Perayaan tersebut memantik emosi dari para pejuang "Tiga Serangkai". Cipto dan Soewardi Soerjaningrat kemudian mendirikan suatu komite perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda yang bernama Komite Bumi Putera. Komite tersebut meminta kepada Ratu Wilhelmina agar pasal pembatasan kegiatan politik dan membentuk parlemen dicabut.
Aksi komite ini mencapai puncaknya pada 19 Juli 1913, saat harian De Express menerbitkan artikel Suwardi Suryaningrat yang berjudul "Als Ik Een Nederlander Was" (Andaikan Aku Seorang Belanda). Selain Suwardi, Cipto juga menulis di harian tersebut guna mendukung Suwardi untuk memboikot perayaan kemerdekaan Belanda. Tulisan mereka sangat memukul pemerintahan Hindia Belanda sehingga mereka dipenjarakan pada 30 Juli 1913.
Selama pembuangannya di Belanda, Tiga Serangkai tersebut melancarkan aksi politiknya dengan melakukan propaganda politik berdasarkan ideologi Indische Partij. Kehadiran tiga pemimpin tersebut di Belanda ternyata telah membawa pengaruh yang cukup berarti terhadap organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda.
Pada tahun 1914, Cipto diperbolehkan untuk pulang karena alasan kesehatan. Ia kemudian bergabung dengan Insulinde, suatu perkumpulan yang menggantikan Indische Partij. Karena pemberontakan yang dilakukan oleh dr. Cipto mulai dari masa pemerintahan Hindia Belanda hingga penjajahan Jepang, dr. Cipto mulai diasingkan. Pada 19 Desember 1927, ia diasingkan di Banda, Maluku. Kemudian pada tahun 1940, ia dipindahkan dari Bali dan Makassar ke Sukabumi. Tjipto Mangoenkoesoemo akhirnya meninggal pada 8 Maret 1943 akibat penyakit asmanya yang kambuh selama pengasingan. Ia dimakamkan di TMP Ambarawa, Semarang. Ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1964 dan namanya diabadikan di sebuah rumah sakit yang ada di Jakarta, Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). Pada 19 Desember 2016, pemerintahan Republik Indonesia mengabadikannya dalam uang logam pecahan 200 rupiah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H