Lihat ke Halaman Asli

Nur Patimah

Mahasiswa S1

Diskursus G Peter Hoefnagels pada Skema "Criminal Policy" di Ruang Publik di Indonesia

Diperbarui: 6 Desember 2024   22:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Modul Prof Apollo

Kriminologi adalah ilmu yang mempelajari kejahatan secara menyeluruh, termasuk penyebab, dampak, dan cara penanggulangannya. Dalam pendekatan ini, penyebab kejahatan dapat dikelompokkan menjadi lima aspek utama: biologis/psikologis, sosiologis, teori penyimpangan budaya, teori kontrol sosial, serta teori lain seperti labelling theory, conflict theory, dan critical criminology. Setiap teori memberikan sudut pandang yang unik terhadap faktor yang memengaruhi perilaku kriminal, baik dari sisi individu maupun pengaruh lingkungan sosial. 

Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidan,  kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal), dan oleh karena itu termasuk bagian dari "kebijakan hukum pidana" (penal policy), khususnya kebijakan formulasinya juga adanya kebijakan politik kriminal. Hal ini demi kebijakan penegakkan hukum atau "Law enforcement" (Barda Nawawi Arief,2005 : 126).  

G.P. Hoefnagels yang memberi makna criminal policy dalam berbagai pengertian, seperti ungkapan bahwa the science of criminal policy is the science of crime prevention, criminal policy as a science of policy is part of a larger policy : the law enforcement policy. G.P. Hoefnagels memberikan beberapa pengertian mengenai "criminal policy" atau kebijakan kriminal. Beliau melihat kebijakan kriminal ini dari berbagai sudut pandang, di antaranya:

  1. "The science of criminal policy is the science of crime prevention" (Ilmu kebijakan kriminal adalah ilmu pencegahan kejahatan) Artinya Kebijakan kriminal pada dasarnya adalah upaya yang sistematis dan ilmiah untuk mencegah terjadinya kejahatan. Ini berarti kebijakan ini tidak hanya berfokus pada penindakan setelah kejahatan terjadi, tetapi lebih kepada langkah-langkah proaktif untuk mencegah terjadinya kejahatan di awal.

  2. "Criminal policy as a science of policy is part of a larger policy : the law enforcement policy" (Kebijakan kriminal sebagai ilmu kebijakan adalah bagian dari kebijakan yang lebih luas: kebijakan penegakan hukum) Artinya Kebijakan kriminal merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan penegakan hukum secara keseluruhan. Kebijakan penegakan hukum mencakup berbagai aspek, mulai dari pencegahan kejahatan, penindakan, hingga pemulihan korban. Kebijakan kriminal sendiri lebih spesifik, yaitu fokus pada upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan melalui berbagai cara, seperti membuat undang-undang, penegakan hukum, dan program-program rehabilitasi.

Hoefnagels ingin menyampaikan bahwa kebijakan kriminal adalah sebuah upaya yang cerdas dan terencana untuk mencegah dan mengurangi kejahatan di masyarakat. Upaya ini tidak berdiri sendiri, melainkan terhubung dengan upaya penegakan hukum yang lebih luas.

Criminal policy atau kebijakan kriminal, seperti yang dijelaskan oleh G. Peter Hoefnagels, merupakan organisasi rasional dari respons sosial terhadap kejahatan. Hoefnagels mengidentifikasi bahwa kebijakan kriminal memiliki empat dimensi utama, yaitu : 

  • kebijakan kriminal sebagai ilmu respons terhadap kejahatan.
  • Sebagai ilmu pencegahan kejahatan.
  • Sebagai upaya mendefinisikan perilaku manusia sebagai tindakan kriminal.
  • Sebagai totalitas respons rasional terhadap kejahatan. Dengan demikian, kebijakan kriminal tidak hanya mencakup upaya hukuman, tetapi juga pencegahan dan rehabilitasi.

Lebih lanjut, kebijakan kriminal dibagi menjadi dua pendekatan, yaitu penal (hukuman) dan non-penal. Pendekatan penal fokus pada penerapan sanksi pidana berdasarkan hukum pidana. Kebijakan ini mencakup strategi bagaimana hukuman digunakan untuk memberikan efek jera, rehabilitasi pelaku, atau perlindungan bagi masyarakat. Misalnya, kebijakan tentang hukuman penjara, denda, atau hukuman mati sebagai respons terhadap tindak pidana tertentu. Penal policy memastikan bahwa penerapan hukum pidana dilakukan secara efektif dan adil. 

Menurut Hoefnagels, kebijakan penal berfungsi untuk:

  1. Memberikan efek jera kepada pelaku dan calon pelaku kejahatan.
  2. Melindungi masyarakat dari potensi bahaya yang dapat ditimbulkan oleh pelaku kejahatan.
  3. Menegakkan norma hukum dengan konsekuensi yang tegas bagi pelanggar.

Sebaliknya, mengenai kebijakan non-penal dalam skema "Criminal Policy" oleh G. Peter Hoefnagels,  berfokus pada upaya preventif untuk mencegah terjadinya kejahatan tanpa bergantung pada pemberian hukuman pidana. Dalam konteks ruang publik di Indonesia, kebijakan non-penal sangat relevan, mengingat kompleksitas sosial, budaya, dan ekonomi yang memengaruhi kriminalitas. Pendekatan ini mencakup program-program sosial, pendidikan, kebijakan kesejahteraan, dan peningkatan kesadaran masyarakat.

Kebijakan ini bertujuan untuk:

  • Menghilangkan akar penyebab kejahatan (misalnya kemiskinan, pengangguran, atau ketimpangan sosial).
  • Meningkatkan peran masyarakat dan institusi sosial dalam menciptakan lingkungan yang mendukung norma hukum.
  • Meminimalkan peluang kejahatan melalui pembangunan fasilitas umum yang aman dan kebijakan tata kota yang baik.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline