Lihat ke Halaman Asli

Nurohmat

Pembelajar

Merdeka Belajar Melalui Coaching

Diperbarui: 26 Maret 2021   11:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Merdeka Belajar  Melalui Coaching

Oleh : Nurohmat

Setiap peserta didik adalah istimewa. Mereka  sejatinya memiliki potensi tertentu melebihi kita, gurunya. Untuk mengembangkan potensi peserta didik, tugas kita sebagai guru adalah 'menuntun' mereka agar potensi yang mereka miliki dapat bertumbuhkembang secara maksimal.  Dalam konteks pemikiran pendidikan yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara dimana guru merupakan  pamong atau orang yang ngemong peserta didik  dapat memberikan tuntunan kepada peserta didik melalui pertanyaan-pertanyaan reflektif dan efektif agar  kekuatan kodrat anak bertumbuhkembang dan terpancar dalam dirinya.  Coaching merupakan salah satu proses ikhtiar dalam menuntun peserta didik untuk menemukan kemampuan potensialnya dan mengembangkan kemampuan aktualnya.  Kemampuan potensial merupakan kemampuan yang belum terlihat atau belum tergali serta belum teraktualisasikan. Kemampuan aktual merupakan kemampuan yang sudah dimiliki pada saat itu dan sudah tampak  dan membutuhkan pengembangan lebih lanjut.

Masing-masing peserta didik memiliki kecenderungan kemampuan yang berbeda-beda, ada yang berkecenderungan terhadap kemampuan fisik psikomotorik, ada juga yang berkecenderungan terhadap kemampuan  personal dan kepribadian, seperti : interkasi, komunikasi, adaptasi. Sedangkan peserta didik lainnya ada juga yang memiliki keunggulan intelektual. Hal ini senada dengan apa  yang diungkap oleh Howard Gardner bahwa sejatinya manusia memiliki potensi kecerdasan yang beragam (multiple intellegence), diantaranya adalah : (1) kecerdasan verbal-linguistik, (2)kecerdasan logis matematik, (3)kecerdasan spasial visual, (3) kecerdasan kinestetik, (4)kecerdasan musical, (5) kecerdasan intrapersonal, (6) kecerdasan interpersonal, (7)kecerdasan naturalis, (8)kecerdasan eksistensial.

Untuk itu sebagai guru tidak diperkenankan memandang peserta didik sebagai sosok yang inferior dibandingkan dirinya, apalagi memandang rendah mereka. Tidak ada peserta didik yang bodoh, yang ada adalah guru yang tidak tahu  bagaimana cara memaksimalkan potensi kecerdasan peserta didik.  Sebagai guru, kita kerap mengajar peserta didik dengan cara kita sendiri, bukan cara belajar mereka. Inilah pentingnya diferensiasi dalam proses pembelajaran. Peserta didik membutuhkan layanan pembelajaran yang mengakomodasi kemampuan mereka baik kemampuan potensial maupun kemampuan aktual sehingga mereka dapat belajar sesuai dengan potensi mereka dan dapat mengembangkan kemampuan aktual mereka.  Layanan pembelajaran seperti itulah yang memerdekan peserta didik. Mereka tidak merasa tertekan dan terancam dalam belajar sehingga secara sosial emosional  mereka lebih merasakan kebahagiaan.  Untuk merawat kebahagian peserta didik,  guru perlu melatihkan kemampuan sosial emosional terhadap mereka sehingga mereka menjadi pribadi yang merdeka tidak hanya secara lahir melainkan juga merdeka batin.

Merdeka belajar hanya akan terwujud jika peserta didik menjadi dirinya sendiri yang merdeka lahir batinnya. Untuk mengupayakan hal tersebut, seorang guru tidak hanya lihat mempraktikkan kemampuan teaching, lebih dari itu praktik coaching perlu terus diasah terutama terhadap peserta didik. Hal ini dikarenakan coaching dapat mengembangkan kesadaran dan tanggung jawab peserta didik akan kemampuan potensial dan aktual yang dimilikinya sehingga dapat menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri dan dapat mengembangkan dirinya secara merdeka sesuai dengan cara dan komitmennya sendiri.

Dalam praktik coaching yang harus diperhatikan adalah membangun rasa percaya dan nyaman  antara coach dan coachee. Selain itu,  setiap praktik coaching semestinya ada permission to coach dan agenda coaching, seperti : ada topik yang ingin dibahas, mengaitkan topik dengan tujuan yang diinginkan oleh coachee, dan menanyakan tujuan spesifik yang diharapkan oleh coachee.  Sebagai seorang coach harus menunjukkan kepekaan pada lawan bicara, menunjukkan empati pada coachee, tidak menyela pembicaraan, mendorong coachee untuk focus pada agenda bukan pada hal-hal lain, dan tidak menghakimi.

Model TIRTA  adalah  salah satu model dalam pelaksanaan coaching. TIRTA merupakan kependekan dari Tujuan, Identifikasi, Rencana aksi, dan TAnggung jawab (TIRTA). Seorang coach semaksimal mungkin dapat memperjelas tujuan yang diinginkan oleh coachee dalam sesi coaching, untuk kemudian mengidentifikasi realitas yang ada baik situasi, kemampuan, dan lainnya yang dihadapi oleh coachee. Setelah itu, coach membantu coachee memperjelas pilihan-pilihan renacana aksi yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Sesi terakhir coach mendorong coachee untuk berkomitmen terhadap pelaksanaan rencana aksi yang akan dikerjakan. Dalam setiap sesinya, kemampuan mendengarkan efektif, bertanya efektif perlu dikembangkan oleh coach. Seorang coach harus jeli menangkap kata-kata kunci untuk dieksplorasi lebih jauh melalui pertanyaan-pertanyaan yang diluncurkan.  Gunakan pertanyaan yang terbuka sehingga coachee lebih terbuka mengungkapkan pernyataan-pernyataannya, selain itu coach perlu meluncurkan pertanyaan yang menggugah sehingga coachee mampu berefleksi diri atas apa yang ditanyakan oleh coach. Solusi ada pada diri coachee sendiri, coach hanya memperjelas solusi yang sejatinya sudah dimiliki oleh coachee.

Cirebon, 25 Maret 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline