Oleh : Nurohmat
Kemarin sore, saya menyengajakan diri untuk turut beserta istri saya mengantarkan salah satu sepupunya kembali ke pondok pesantren di Indramayu. Setelah kurang lebih satu minggu sepupunya yang santri itu harus beristirahat di rumah lantaran sakit cacar air.
Saya telusuri informasi terkait kata santri. Penelusuran saya terhenti sejenak pada salah satu buku yang diterbitkan oleh Museum Kebangkitan Nasional Kemendikbud. Buku itu berjudul KH Ahmad Dahlan yang ditulis secara keroyokan oleh Abdul Mu'thi, Abdul Munir Mulkhan, Djoko Marihandono, Nur Khozin, dan Isnudi. Dalam salah satu bagian buku tersebut membahas pendidikan masyarakat Hindia Belanda pada masa kolonial, dimana secara sederhana membagi pendidikan pada masa tersebut menjadi dua ragam, yakni pendidikan umum dan pendidikan pesantren. Pada pendidikan umum, peserta didiknya kerap disebut sebagai siswa atau pelajar sedangkan pada pola pendidikan pesantren, peserta didik nya disebut santri.
Buku tersebut sedikit mengupas asal usul kata santri. Apa yang saya catat dari buku tersebut adalah adanya pendapat yang mengaitkan kata "santri" dengan kata shastri ( bahasa sansekerta) atau cantrik yang merupakan sebutan untuk murid dalam pengajaran dan pendidikan agama Hindu-Budha. Sedangkan mengenai asal-usul pola pendidikan dan pengajaran terhadap santri (baca: pesantren) setidaknya ada dua pendapat yang populer.
Pendapat pertama, pesantren dianggap sebagai model pendidikan asli yang dimiliki umat Islam, yakni zawiyat. Zawiyat merupakan model pendidikan dan pengajaran tasawuf yang populer diselenggarakan di Timur Tengah dan Afrika Utara. Pendapat kedua, pesantren dianggap sebagai adopsi dan adaptasi dari model pendidikan dan pengajaran Hindu-Budha yang mengalami proses Islamisasi.
Kembali lagi ke istilah santri, seperti diketahui bersama, dalam konteks Indonesia, umat Islam Indonesia - merujuk pada tipologi yang disuguhkan oleh Clifford Geertz- secara luas terbagi menjadi Muslim "santri" dan Muslim "abangan". Muslim "santri" adalah Muslim yang berasal dari latar belakang religius dan secara ketat mempraktikkan ajaran formal Islam, sedangkan Muslim "abangan" adalah mereka yang mempraktikkan Islam secara nominal.
Meskipun tipologi yang disuguhkan Geertz banyak dibantah oleh para sarjana dan pemerhati keislaman Indonesia, dalam kasus tertentu cukup membantu untuk menjelaskan fenomena keislaman yang hadir di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
Bila kita telusuri lagi kaitannya antara santri dengan ideologi keislaman yang dianut. Akan kita temukan, Muslim santri yang bercorak Neo-revivalis, Neo-modernis, dan Neo-tradisionalis. Wajah ideologis yang dianut santri akan tampak pada ekspresi mereka terhadap praktik keislaman. Contoh sederhana, santri yang mempraktikkan bercelana cingkrang dan atau berjenggot (bagi santriwati: bercadar) merupakan representasi dari santri Neo-revivalis. Santri yang dalam pengajaran dan pendidikannya mengenakan sarung, bolehlah kita kategorikan sebagai santri bercorak Neo- tradisionalis. Meskipun anggapan ini dianggap terlalu menyederhanakan, namun relatif berguna untuk memudahkan kita dalam memahami fenomena tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H