Lihat ke Halaman Asli

Nur Mustaina

Agronomy and Horticulture IPB University

Puisi: Picisan Diri, Membidik Kematian

Diperbarui: 7 Februari 2021   21:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Illustrated. Sumber: Canva.com

Di luar ada patah yang menjerit. Saya hampiri menanyakan luka, boleh saya obati?

Masih terdiam__

Sepeda klasik, terlihat tua bersama juru mudi. Melihatnya membuat hati saya bergumam, kamu manusia atau bukan__ Terlampau jauh, saya kembali menemui patah yang tadi.

Aku patah bukan berarti tak berguna, Aku pasrah bukan berarti bodoh, Aku ikhlas karena percaya takdir dan tuhan.

Tanpa bergeming seketika hening. Angin beku, daun lumpuh, dan saya ditampar sakit tak berwujud.

Selamat jalan.

Di dalam, ada denting yang menyeru. Saya hampiri menanyakan sumbang, boleh saya tahu?

Masih terdiam__

Merpati putih, terlihat berperi bersama waktu. Melihatnya membuat hati saya bergumam, hidup itu indah yaa. Masih kukuh di tempat itu, mendekatinya bukan hal sulit.

Aku denting untuk menghitung, aku patuh untuk mencelikkan, aku rampung untuk mati.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline