Lihat ke Halaman Asli

nurmayang sari

pekerja swasta

Traped by Berondong

Diperbarui: 12 Januari 2025   19:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Nadira mendesah kecewa untuk yang kesekian kalinya dalam sehari ini. Tadi ibunya menelpon dan menerornya untuk cepat pulang. Rindu katanya. Sebagai seorang sekretaris di salah satu perusahaan ternama membuat Nadira memiliki jadwal yang cukup sibuk. Hal itu juga yang membuat dia memutuskan untuk tinggal sendiri di sebuah apartemen dekat kantor.

Pagi tadi, mood Nadira benar-benar buruk. Mobil yang dia bawa tiba-tiba mogok, sementara pagi tadi dia ada meeting penting yang harus dia hadiri. Meskipun sang atasan tidak berkomentar apa-apa, tapi dia tahu bahwa atasannya itu pasti kecewa. Apalagi tatapan kesal dari beberapa investor dan karyawan perusahaan yang ada di ruangan meeting.  

Suara ketukan pintu menyadarkan Nadira dari keruetan isi kepalanya. Setelah dipersilahkan masuk, muncul seorang lelaki dengan setelan kerjanya. Lelaki itu tampak bersemangat, siap untuk menyapa Nadira yang malah menatap tak minat. 

"Selamat siang, ini aku bawakan makan siang." Ujar lelaki itu tanpa menyadari raut suntuk Nadira. Mungkin lelaki itu sudah biasa dengan tampang perempuan di depannya ini seolah tak tertarik dengannya. Bisa dipastikan hanya Nadira di kantor ini yang menatapnya begitu. Jangankan membawa makan siang, di senyumin dirinya saja, para pegawia wanita mungkin akan jingkrak-jingkak atau bahkan meliuk-liuk seperti menahan pipis. Tetapi itu tak berlaku untuk Nadira. 

"Sudah berapa kali saya bilang, kamu jangan seperti ini Agam. Berhenti bawakan saya makan siang." Balas Nadira kesal.

Agam Deralano Putra D. Setidaknya itu nama lengkap yang Nadira tahu tentang lelaki ini. Sudah sebulan lelaki ini bekerja sebagai pegawai baru di sini, di bagian keuangan lebih tepatnya. Mereka bertemu di ruangan pimpinan, saat Nadira hendak mengantar berkas dan dia melihat sang atasan tengah berbincang dengan Agam. Nadira pikir itu mereka sedang interview.

Berawal dari sana, lelaki itu sepertinya tertarik dengan Nadira. Bisa dibilang jatuh cinta pada pandangan pertama. Dari pertemuan itulah, Agam mulai mendekatinya. Bahkan terang-terangan lelaki yang lebih muda 3 tahun darinya itu memberikan perhatian lebih. Terhitung sudah satu bulan Agam terus-terusan mencari muka di depan Nadira. Entah itu membawakan sarapan, makan siang, karangan bunga, ajakan pulang bersama, dan yang lainnya. Nadira tidak ingat, tapi yang pasti spesies seperti Agam ini memang sulit untuk Nadira hindari. 

"Ini kan jam makan siang, jadi aku bawakan makan siang. Ini ayo di makan." Ujar Agam seolah tidak mengindahan perkataan Nadira barusan. 

Nadira mengela nafas sebelum dia menerima makan siang yang Agam berikan. Nadira juga bingung dengan dirinya sendiri. Di awal dia akan menolak, tetapi selanjutnya dia akan patuh dengan apa yang Agam mau. Mungkin memang Nadira yang tidak bisa menolak ditambah cacing di perutnya juga sudah meronta sedari tadi. 

"Terima kasih untuk makan siangnya. Tapi saya akan sangat berterima kasih kalau kamu mau berhenti melakukan ini semua." Nadira menatap dalam mata Agam, membuat lelaki itu yakin bahwa Nadira bersungguh-sungguh dengan permintaannya. 

"Nanti pulang sama aku ya," jawab Agam sambil berjalan keluar. Lelaki itu benar-benar tidak memperdulikan perkataan Nadira sebelumnya.

"Agam saya nggak bis---"

"Mobil kamu mogok kan?" 

See? Nadira tidak bisa mengelak lagi. Sebenarnya Agam ini tahu dari mana? Padahal tadi tidak ada yang melihat dia naik taxi karena memang sudah jam kerja. Tapi wajar saja kalau Agam itu tahu, siapa yang tidak mengenal lelaki itu di sini.

Pukul sudah menunjukkan 17.15 menit yang artinya jam pulang kantor sudah selesai 15 menit yang lalu. Nadira masih sibuk bergelung di mejanya, sesekali perempuan itu mengernyit saat memperhatikan barisan kata di depan komputer. 

Telepon yang berdering membuat dia berhenti dari kegiatannya. Tanpa melihat siapa yang menghubungi, Nadira langsung menjawab. Belum sempat dia mengucapkan sepatah kata, seseorang di seberang langsung nyerocos tanpa henti. Panggilan langsung diakhiri oleh pihak penelepon. 

Nadira mendengus kesal. Perempuan itu dengan segera merapikan semua barang-barangnya dan pergi keluar. Jangan sampai Agam berulah kembali yang membuat dia repot saja. Nadira sampai di area parkir dan melihat Agam sedang bersender di mobil sport miliknya. 

Entah kenapa penampilan lelaki itu sama sekali tidak mencerminkan seseorang yang sudah seharian bekerja. Masih rapi dan elok untuk di pandang mata. Dilihat dari sisi manapun, Agam tetap memancarkan aura ketampanan. 

Semakin berjalan mendekat, Nadira bisa mencium bau parfum yang Agam pakai. Bau parfum yang kenapa sangat pas menggambarkan sosok Agam. Untuk sesaat Nadira terpesona dengan lelaki yang tersenyum manis menyambut kedatangannya ini. 

"Kita sudah sampai," ujar Agam sambil menatap dalam Nadira. Perempuan itu belum menyadari bahwa mereka sudah sampai. 

"Ah iya, terima kasih." Jawab Nadira menutupi kegugupannya. Entah kenapa dia mendadak gugup ditatap Agam dengan pandangan seperti itu. Bisakah Nadira menghilang sekarang juga? 

Ibu anakmu nggak kuat, batin Nadira berteriak. 

"E... kamu mau mampir?" 

"Tidak usah, lain kali saja." Agam masih menatap tepat ke mata Nadira. Sedangkan perempuan itu berusaha menghindar dengan melihat ke arah lain. Agam tersenyum senang melihat perempuan di depannya ini yang seperti salah tingkah. 

Setelah Nadira turun dari mobil, barulah Agam pergi. Melihat mobil Agam yang bergerak menjauh, Nadira meraba debaran jantungnya. Oh tidak, perasaan ini. Nadira oh Nadira, sadarlah. 

***

Nadira berjalan tergopoh-gopoh saat sang atasan meminta dirinya untuk segera datang ke ruang meeting. Kali ini bukan karena dia terlambat, tetapi ada kesalahan penyampaian data.

"Saya tidak mau hal seperti ini terulang lagi Nadira, kamu harus rinci memberikan data kepada pihak yang akan kita ajak kerja sama. Dan tolong dicek lagi datanya apakah itu data baru atau lama." Tegur sang atasan. 

Nadira meminta maaf, baik kepada sang atasan dan juga ke rekan kerja atasannya. Dia bisa melihat perempuan lain di ruangan itu menatap sinis ke arah dirinya, siapa lagi kalau bukan Clara. Anak sekaligus sekretaris dari ayahnya sendiri. 

Nadira meminta maaf, baik kepada sang atasan dan juga ke rekan kerja atasannya. Dia bisa melihat perempuan lain di ruangan itu menatap sinis ke arah dirinya, siapa lagi kalau bukan Clara. Anak sekaligus sekretaris dari ayahnya sendiri. 

Nadira tidak tahu kenapa Clara memusuhinya. Perempuan itu adalah teman seangkatan di bangku kuliahnya dulu, lebih tepatnya mereka teman sekelas. Clara terang-terangan membencinya saat lelaki yang perempuan itu sukai malah menyatakan perasaan ke Nadira. 

Nadira sudah menolaknya waktu itu. Tapi entah kenapa Clara masih terus memusuhinya hingga mereka lulus dan sampai sekarang. Nadira sudah mendapat feeling buruk saat perusaan milik ayah Clara mengajak atasannya untuk kerja sama. 

Buktinya memang benar terjadi. Nadira yakin bahwa dia sudah mengirim data yang benar, data baru. Tapi entah kenapa malah data tahun lalu yang ada. Melihat senyum remeh Clara, Nadira yakin pasti perempuan itu yang sudah melakukan ini semua. 

"Saya rasa kita bisa bahas ini lain kali Pak Arya. Bagaimana tawaran saya yang waktu itu?" Tanya Ayah Clara, membicarakan topik lain. 

Arya, atasan Nadira melirik ke arah sang sekretaris. Nadira kira itu adalah lirikan yang memintanya untuk pergi. Tapi dia salah, saat Nadira hendak permisi, sang atasan malah memintanya untuk tetap tinggal. 

"Nadira kamu keluar dengan saya. Pak Hendra saya minta maaf, sepertinya kita juga bisa bicarakan itu lain kali. Saya ada meeting lagi setelah ini Pak."

Dengan raut wajah kecewa, Hendra menyanggupi. Bisa Nadira lihat, Clara juga itu memasang wajah cemberut. Memangnya pembicraan apa?

"Kenapa Bapak tadi mengatakan ada meeting lagi? Bukannya ini meeting terakhir Pak?" Tanya Nadira heran. 

"Tidak apa, saya hanya tidak ingin membahas hal di luar pekerjaan dengan Pak Hendra." 

"Kalau boleh tahu memangnya Pak Hendra ingin berbicara apa Pak?"

"Kamu mau tahu?"

Kepala Nadira mengangguk sebagai jawaban. Tapi setelahnya perempuan itu menyadari sesuatu. "Kalau boleh Pak," cicitnya sambil tersenyum malu. Nadira harus ingat batasan. 

"Pak Hendra berniat ingin menjodohkan anaknya, Clara."

"Dengan Bapak?" Saut Nadira cepat. Tidak lupa perempuan itu menampilkan ekspresi kaget sambil menutup mulutnya. 

"Hahaha." Arya tertawa. Kenapa Nadira bisa berpikir begitu. Rupanya Nadira juga ikutan tertawa mengingat pertanyaannya tadi. 

"Dengan putra saya." Tawa Nadira langsung berhenti. 

"Kenapa Nadira?"

"Ah tidak Pak, ayo kita kembali ke ruangan." 

Nadira tersentak saat melihat seseorang sedang duduk di kursi miliknya. Siapa lagi yang berani duduk seenak jidat, kalau bukan Agam. 

"Ada apa lagi sih Gam?" 

"Aku bawain makan siang buat kamu. Kita makan sama-sama di sini ya."

Nadira mendesah kecewa. Kenapa Agam ini sangat bandel sekali. Percuma juga Nadira menolak. Karena dia yakin Agam pasti punya 1001 cara untuk membuat Nadira tunduk padanya. 

Setelah makan siang bersama, Agam mengajak Nadira untuk jalan-jalan berdua. Tempat yang mereka tuju adalah pameran karya seni. Kebetulan hari ini adalah hari pertama pameran digelar sehingga suasana cukup ramai. 

Nadira sampai memelototkan mata saat dengan enteng Agam membelikannya sebuah lukisan dengan harga yang tidak bisa dikatakan murah. Ini bermula saat dia tidak sengaja mengatakan bahwa lukisan itu sangat menarik. 

Tidak. Nadira tidak pernah ada maksud untuk mengkode Agam supaya lelaki itu membelikannya, itu hanya murni dari pikirannya yang mengatakan bahwa lukisan itu memang bagus. 

"Agam saya tidak meminta kamu untuk membelinya," desis Nadira. Jangan sampai suaranya di dengar oleh pegawai di dekat mereka. 

"Tapi kamu suka kan?" 

"Saya hanya bilang suka. Suka bukan berarti harus memiliki kan?" 

Agam menatap ke arah Nadira. "Suka memang bukan berarti harus memiliki, tapi suka itu harus diperjuangkan. Aku berusaha membelikan ini untuk kamu, sama juga dengan aku berusaha membuat kamu menganggap kehadiran aku. Aku memang lebih muda, tapi aku serius dengan kamu." 

Nadira terdiam, tidak tahu harus melakukan apa. Raut sungguh-sungguh Agam membuatnya terhipnotis oleh pria itu. Perkataan dari pegawai pameran lah yang membuat keterdiaman dua sejoli itu berakhir. Pegawai itu mengatakan bahwa pesanan lukisan mereka sudah selesai dan akan diantar nanti malam. 

Setelah menghabiskan waktu di pameran, Agam kemudian mengajak Nadira untuk jalan-jalan di mall terdekat. Mereka menghabiskan waktu bersama hingga malam tiba. 

"Lain kali kita jalan lagi ya." Pinta Agam saat dia mengantarkan Nadira ke apartemen perempuan itu. 

"Saya tidak janji, tapi akan saya usahakan." Agam tersenyum. 

Hari demi hari berlalu. Agam dan Nadira lebih banyak menghabiskan waktu mereka berdua. Entah itu jalan ke mall, taman, makan malam bersama, joging bersama, dan yang lainnya. Kalau ada waktu luang maka mereka akan menghabiskannya berdua. 

Dari sanalah hubungan mereka semakin dekat. Nadira merasa Agam bisa mengimbangi sisi dewasa dirinya. Meskipun usia pria itu lebih muda dari Nadira, tetapi komunikasi antara mereka berjalan dengan lancar. Berulang kali Agam secara terang-terangan menyatakan perasaanya, tetapi Nadira memilih untuk mengabaikannya. 

Hingga suatu ketika, Agam mengajak Nadira untuk malam bersama. Di momen itulah, Agam menyatakan perasaannya kembali. 

"Aku benar-benar cinta sama kamu. Aku ingin kamu menjadi milik aku." Ungkap Agam sungguh-sungguh. 

"Agam, kita ..."

"Kalau yang kamu khawatirkan adalah umur, aku tidak masalah dengan itu semua." 

Nadira menghela nafas. Selain umur yang berbeda, mereka juga memiliki tingkat status yang berbeda. Di mana Nadira merasa dia kalah jauh dengan Agam. Akhirnya perempuan itu meminta waktu, dia perlu berpikir jauh untuk memantapkan hatinya. Ada banyak hal yang harus dia pikirkan. 

***

Suasana kantor seperti biasa, ramai para pegawai berlalu lalang. Nadira melangkahkan kaki menuju ke ruangannya. Perempuan itu terkejut lagi saat melihat siapa yang tengah tersenyum lebar menyambut kedatangannya. Jangan lupakan buket bunga dan tas kecil yang Nadira tahu itu adalah makanan. 

"Ini bunga kamu, dan ini sarapan. Jangan lupa di makan ya, aku pergi." Lelaki itu tersenyum sebelum benar-benar menutup pintu, dan pergi.

Setelah kemarin Nadira menggantung status mereka, dia pikir Agam akan tidak peduli lagi dengannya. Atau setidaknya pria itu akan perlahan menjauhinya. Tapi ternyata itu tidak benar, Agam masih seperti biasa. Bukankah lelaki itu terlihat bucin? 

Nadira hendak mengetuk pintu sang atasan, tetapi diurungkan niatnya saat dia tidak sengaja mendengar obrolan dari dalam. Jiwa kepo miliknya langsung terpanggil saat dia tahu kemana arah obrolan itu. 

Nadira semakin menajamkan pendengarannya saat mendengar sang atasan angkat bicara. Perempuan itu terdiam sejenak mendengar jawaban sang atasan. Apa ini? Apakah ini artinya Nadira harus mengalah?

Langkah kaki yang semakin mendekat menyadarkan perempuan itu. Nadira bergegas pergi sebelum dia ketahuan karena menguping. 

Setiap hal yang terjadi itu memiliki alasan di dalamnya. Entah itu nantinya akan membahagiakan atau malah sebaliknya, sebagai manusia kita hanya bisa menjalani dan menerimanya. 

Ponsel milik Nadira terus berdering sedari tadi. Dia tahu siapa yang tengah melakukan itu. Tapi sungguh, Nadira tidak punya banyak tenaga untuk menjawab. Jangankan menjawab, mengingat yang menelepon saja Nadira sudah tidak sanggup. 

Pagi hari seperti biasa, Nadira berangkah ke kantor. Di parkir, dia bertemu dengan seseorang yang ingin dia hindari. Syukur, Nadira dengan cepat balik badan sehingga dia tidak harus bertemu dengan Agam yang tampak ingin mengejarnya. 

15 menit lagi jam istirahat akan datang. Nadira dengan cepat merapikan pekerjaanya dan langsung keluar. Untungnya semua pekerjaan sudah beres kemarin, jadi dia hanya perlu mengeceknya kembali. 

Baru hendak keluar, Nadira terdorong ke belakang kembali. Perempuan itu terkejut melihat Agam sudah berdiri di depan pintu. Lelaki itu melangkah masuk, menutup pintu dan menguncinya. 

"Kamu kemarin ke mana aja? Aku telpon nggak diangkat. Aku juga datang ke apartemen tapi kamu sama sekali tidak ada niatan untuk buka pintu. Kamu kenapa?" Tanya Agam sedikit frustasi. 

Nadira menghela nafas, menatap dalam ke arah Agam. Sepertinya memang harus diselesaikan sekarang juga. 

"Bisa kamu berhenti Agam? Saya tidak bisa menerima kehadiran kamu di sisi saya. Jadi tolong, jangan pernah temui saya lagi."

Agam mengernyitkan alisnya bingung. Kenapa perempuan di depannya ini tiba-tiba berkata begitu, sementara mereka baik-baik saja akhir ini. 

"Kamu ngomong apa?"

"Semuanya sudah jelas, saya tidak mau kamu ganggu saya lagi. Jadi tolong menjauh dari saya." 

"Kenapa? Aku ngelakuian kesalahan apa? Kamu marah sama aku?" Agam berusaha menyentuh Nadira, tetapi dengan kasar perempuan itu menepisnya. 

"Saya tidak ada perasaan dengan kamu, jadi sebaiknya kamu pergi. Jangan pernah ganggu saya lagi!" Ucap Nadira penuh penekanan. Perempuan itu tampak menahan air mata yang membendung di mata cantiknya. 

Agam terpaku. Lelaki itu masih diam saat Nadira benar-benar menghilang dari pandangannya. Apa yang Agam lakukan selama ini apakah tidak berarti di mata perempuan itu? Apa dia melakukan kesalahan yang membuat perempuan itu marah? Atau apakah Agam harus berhenti?

Hari demi hari berlalu, Agam tidak lagi menampakkan dirinya secara terang-terangan di depan Nadira. Lelaki itu menghindar jika dia berpapasan dengan Nadira. Sebaliknya Nadira juga melaukan itu. 

Tetapi jauh di lubuk hati yang terdalam, Nadira sedih. Apakah Agam benar-benar menyerah? Bukankah ini yang Nadira mau? 

Jujur, Nadira kesepian, dia rindu dengan perhatian yang Agam berikan. Rasa sedih yang dia rasakan semakin bertambah saat melihat Agam makan siang dengan Clara. 

Nadira ingin belajar mengiklaskan, melepaskan lelaki itu. Tapi kenapa rasanya sangat sulit sekali. Kenapa di saat mereka bisa bersama, ada saja hambatan. Nadira sedih, sedih hingga perempuan itu memutuskan untuk mengambil cuti besok harinya. Bertepatan dengan itu, sang ibu menelponnya, meminta dirinya untuk pulang. 

"Ini sudah seminggu kamu di rumah, memangnya kamu tidak bekerja besok?" Tanya Ibu Nadira. 

Sudah seminggu putrinya itu di rumah. Biasanya Nadira hanya akan pulang sebentar, tapi kali ini putrinya itu tampak tidak ada niatan untuk kembali padahal tidak mungkin dia mengambil cuti lebih dari seminggu. 

"Mungkin besok aku kembali Bu." 

"Ya sudah kalau begitu, ibu keluar sebentar dulu ya, kamu istirahat."

Nadira hanya mengangguk sebagai jawaban. Dalam diamnya entah kenapa sosok Agam kembali melintas di pikirannya. Ingin sekali Nadira mengutuk pikiran lancang miliknya yang bisa-bisanya mengingat kembali lelaki itu. Padahal mungkin sekarang lelaki itu tengah bahagia dengan wanita pilihan ayahnya. 

Agam Deralano Putra Dewangga adalah putra dari Arya Dewangga, atasan Nadira sendiri. Ya benar, Agam adalah anak dari pemilik perusahaan tempat Nadira mengadu nasib. Lelaki itu memang sengaja diberikan jabatan biasa, supaya dia bisa belajar dari nol. 

Kalau kalian berpikir sejak kapan perasaan Nadira tumbuh untuk lelaki itu, maka dengan tegas dia akan menjawab saat pertemuan pertama kali mereka. Ya, Nadira jatuh hati pada pandangan pertama dengan lelaki itu. 

Mungkin tidak hanya Nadira saja, para pegawai lain juga mungkin merasakannya. Pesona seorang Agam memang sulit untuk dihindari. Tetapi Nadira berusaha menghapus perasaan itu saat mengetahui siapa lelaki itu sebenarnya. 

Alasan itu juga yang membuat dia seolah tidak memperdulikan lelaki itu, padahal hati Nadira sangat berbunga-bunga saat Agam memberikan perhatian ke dirinya. Pertahanan Nadira runtuh saat Agam tidak menyerah untuk mendekatinya. 

Tetapi semua itu harus sirna kembali, saat Agam akan dijodohkan dengan Clara. Oh ayolah, siapa Nadira ini. Dirinya kalah jauh dengan Clara yang merupakan anak dari rekan kerja atasannya. Apalah Nadira atuh. 

Karena overthinking tentang Agam yang semakin menjadi-jadi, Nadira memilih untuk tidur lebih cepat malam ini. Baru matanya terpejam, pintunya diketuk. Sang ibu tampak masuk. 

"Nak ayo keluar dulu, di depan ada tamu." Ujar ibunya. Nadira bangun dari tidurnya. Siapa yang bertamu malam begini?

"Siapa Bu?"

"Ayo kamu dandan dulu, sini Ibu bantu." Nadira menyernyitkan alis. Kenapa mesti dandan, memangnya siapa yang datang?

Nadira hendak kembali bertanya, tetapi ibunya memintanya untuk jangan banyak tanya. 15 menit kemudian, Nadira sudah siapa dengan sedikit polesan make up dan ganti baju. 

Nadira dituntun oleh ibunya menuju ke ruang keluarga. Macam calon pengantin saja kalau begini, pikir perempuan itu. 

Pandangan Nadira jatuh kepada tamu yang dimaksud oleh ibunya. Seketika mata perempuan itu terbelalak. Dia tidak salah liat kan? Jangan sampai dia berhalusinasi. 

Agam? Buat apa lelaki itu datang malam-malam? Pak Arya?

Pertanyaan itu hanya tersimpan di benak Nadira saat sang ayah memintanya untuk duduk. Tanpa berlama-lama, Ayah Nadira kemudian berkata. 

"Pak Arya dan Agam ke sini berniat untuk melamar kamu."

Nadira terkejut. Siapa coba yang tidak terkejut main dilamar mendadak begini. Belum lagi itu adalah Agam. Lelaki yang belakangan ini memenuhi seluruh pikiran Nadira. 

"Tapi Yah---"

"Nadira, saya rasa kamu bisa berbincang dengan Agam. Sepertinya ada kesalahpahaman di sini." Ujar Arya menyela perkataan Nadira sebelumnya. 

Senyum cerah langsung menghiasi wajah Nadira setelah mendengar penjelasan Agam. Ternyata dia salah paham. Baik Arya dan Agam sendiri menolak perjodohan itu. Dengan senyum malu-malu, Nadira mengangguk, menerima lamaran Agam. Berondong tampan yang membuat Nadira terjerat akan pesonanya. 

"Yes!" Pekik Agam semangat. 

"Apakah bisa kalau nikahnya besok?" 

"HAH?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline