Lihat ke Halaman Asli

Nurmalasari

Public Health Specialist

Aku, SKM, dan Pencerah Nusantara

Diperbarui: 10 November 2017   16:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Sebagai Seorang SKM, inilah penghargaan terbesar yang pernah saya dapatkan", mungkin barangkali itulah yang saya rasakan saat ini.

Dulu, saya adalah sosok yang gila prestasi. Prestasi yang diukur dengan banyaknya sertifikat juga piala. Hal itu menjadi wajar, karena saya adalah salah satu mahasiswa yang bisa mengenyam bangku kuliah karena beasiswa BIDIKMISI. Jadi, sudah seharusnya tidak hanya belajar saja selama kuliah, namun harus memberikan lebih, yaitu dalam bentuk prestasi. Itulah yang termaktub dalam ikrar semenjak nama saya tercantum sebagai penerima BIDIKMISI tahun 2010.

Prestasi terbesar yang "mungkin" sukses membuat saya menjadi salah satu "artis" di kampus, tepatnya di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga adalah ketika saya menjadi Mahasiswa Berprestasi untuk prestasi tingkat nasional karena sering memenangkan berbagai Perlombaan Karya Tulis Ilmiah. Tidak hanya itu, di akhir masa menjadi mahasiswa, saya mendapatkan dua prestasi yang “tak kalah bergengsinya” yaitu dinobatkan sebagai Wisudawan Berprestasi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga dan menjadi seorang Pencerah Nusantara, Utusan Khusus Presiden Republik Indonesia untuk MDGs.

Namun, saya merasa ada sesuatu yang belum terlengkapi dalam tumpukan puzzle "kegilaan" seorang Nurmalasari pada prestasi-prestasi itu. Sesuatu yang bernamakan kepuasan batin. Siapa sih yang tidak bangga dipuji-puji karena prestasinya? Tapi apakah benar pujian itulah yang saya inginkan selama ini? Apakah benar pujian itu sebagai indikator keberhasilan sebagai Mahasiswa Penerima Beasiswa dari Uang Rakyat?

Hingga akhirnya ada sebuah tanya yang begitu besar dalam diri saya, "Dengan semua prestasi itu, apakah saya dapat bermanfaat untuk masyarakat sebagai seorang SKM? Terlebih kepada mereka yang telah memberikan saya kesempatan untuk bisa belajar di perguruan tinggi? Apakah prestasi itu hanya tameng untuk menutupi bahwa sebenarnya diri ini sebagai seorang SKM tidak bermanfaat sama sekali untuk masyarakat".

Semua pertanyaan itu terus menerus bergulat dalam benak dan pikiran saya hingga saat saya harus benar-benar mengabdikan ilmu sebagai seorang SKM di Kepulauan Mentawai, salah satu daerah paling barat Indonesia dengan akses pelayanan kesehatan yang begitu sulit tak terjangkau.

Jika ada yang bertanya, menjualkah sebenarnya prestasi-prestasi itu di hadapan masyarakat Mentawai? Apakah semua pencapaian selama kuliah tersebut cukup mampu menggerakkan masyarakat Mentawai?

Jawabannya TIDAK.

Dari situ saya mulai belajar untuk melepaskan semua pernak pernik prestasi yang sangat saya banggakan kala itu, yang sangat menjual di kalangan interviewer job seeker. Saya mulai belajar dari nol menjadi seorang SKM yang memang benar-benar mengabdi dengan seluruh pengorbanan dan cinta tanpa batas untuk menjawab jeritan tangis Masyarakat Mentawai yang tak mencicipi apa itu hidup sehat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline