Lihat ke Halaman Asli

Nurmalasari

Public Health Specialist

Bapak dan Ibuku: Sarjana Tanpa Gelar

Diperbarui: 31 Juli 2022   13:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seperti kata Marshanda, Allah sudah menyusun skenario terbaik untuk kita. Ya, benar sekali. Jika aku tidak dilahirkan di keluarga ini, akankah aku jadi seperti sekarang ini?

Tangan dingin Bapak dan Ibuku telah berhasil membuatku membentuk kepribadian dan mental bajaku.

Dulu, mungkin aku sangat marah bahkan antipati ketika aku sedang menangis, tanpa banyak bicara, aku langsung disiram dengan air oleh Bapakku. Ternyata kusadari bahwa Bapakku mendidikku agar menjadi wanita yang tegar dalam menghadapi berbagai masalah. Menangis boleh, tetapi masalah tidak akan selesai jika kita hanya menangis dan diam saja.

Tidak hanya Bapakku, Ibuku juga seperti itu. Tanpa bertanya apakah aku masih mengantuk atau tidak, aku tidur jam berapa, maka jam 2 wajib bangun, sholat tahajjud, dan belajar meski sampai ketiduran dan buku dipenuhi luberan tinta. Ternyata Ibuku membentuk gaya belajarku, belajar di pagi hari itu sangat baik.

Tidak semata-mata memaksaku atau menyuruhku untuk belajar, meskipun Ibu tidak bisa mengajariku karena beliau buta huruf —Ibu tidak bisa mengenyam pendidikan bahkan untuk jenjang sekolah dasar sekalipun karena harus bekerja demi membantu Kakek dan Nenek membiayai sekolah ketiga adik-adiknya, namun Ibu menemaniku belajar sembari membuatkanku minuman hangat juga camilan agar aku tidak mengantuk saat belajar.

Masih begitu segar dalam ingatanku, ketika SD-SMA hingga kuliah, aku harus mengurusi segalanya sendiri: daftar sekolah sendiri, mencari kos sendiri. Sampai-sampai, terkadang Bapak dan Ibuku tidak tahu jika anaknya diterima di SMP terbaik di Pasirian (SMP Negeri 1 Pasirian), SMA terfavorit di Lumajang (Sekolah Unggulan Terpadu-SMA Negeri 2 Lumajang), bahkan salah satu perguruan tinggi terbaik di negeri ini: Universitas Airlangga. Ya, mereka berdua mendidikku untuk menjadi mandiri, tidak manja, tidak bergantung kepada orang lain selama itu bisa dikerjakan sendiri.

Aku juga masih ingat, ketika aku meminta dibelikan baju baru atau mainan dan lain-lain, beliau menjelaskan kepadaku bahwa Bapak dan Ibu belum memiliki uang lebih untuk itu. Tetapi, jika itu menyangkut pendidikan, tanpa babibu besoknya langsung ada, bahkan aku bisa punya buku RPAL-RPUL dan sejenisnya yang waktu itu bahkan belum banyak yang memiliki.

Oh iya, hampir lupa. Mulai SD hingga SMA, Ibuku selalu membawakan aku bekal makanan ke sekolah dan mewajibkanku sarapan pagi meskipun kadang nasinya baru 'nyulik' ditambah kadang belum ada lauknya, jadinya nasi ditaburi garam saja. Uang saku yang aku dapatpun, hanya cukup untuk naik bis ke sekolah. 

Bagaimana dengan jajan di sekolah? Aku jarang sekali jajan, karena memang uang sakuku hanya untuk biaya transportasi. Makanya, setiap jam istirahat aku akan makan bekalku di kelas kemudian langsung menuju ke perpustakaan sekolah untuk membaca buku. Hingga aku dijuluki "Anak Perpustakaan" hahaha.

Bahkan, pernah ketika aku memiliki uang lebih, aku memutuskan ke kantin untuk jajan. Respon yang diberikan kepadaku oleh teman-teman rata-rata seperti, "Nurmala, kamu gak salah arah? Perpustakaan kan bukan ke sini. Ini ke arah kantin" hahaha.

Bukan karena terlalu pelit, tapi Ibuku begitu menjaga makanan dan minuman yang aku konsumsi. Selain itu, sarapan juga baik untuk meningkatkan konsentrasi saat belajar. Pun juga, bekal yang notabene dimasak sendiri itu bisa dipastikan kandungan nutrisi dan juga keamanan pangannya. Sumpah, berasa anak gizi banget pokoknya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline