Lihat ke Halaman Asli

Satu Tahun Terakhir

Diperbarui: 24 Juni 2015   05:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lorong sepi.

Hujan deras menggambarkan suasana hatiku.

Musim gugur telah tiba, ku terdiam dalam sepi meratapi nasib yang pahit. Kebahagiaan yang sering datang saat menyambut musim itupun gugurlah sudah. Rasa yang dulu pernah ada tlah hancur berkeping-keping bagaikan diterpa tornado. Keputusasaan menyelimuti hidupku, pupuslah sudah harapan yang ku bangun sejak lama. Akankah kutemukan penggantinya dimasa yang akan datang? Aku tak yakin dengan perasaanku sendiri, hingga terbersit dibenakku untuk mengakhiri hidup.

Langit oranye menemaniku menikmati secangkir teh hangat, ku rasakan kenikmatan disetiap teguknya. Inilah pertama kalinya aku menginjakkan kaki di negeri orang yang jauh dari kedua orang tuaku. Inilah pembuktianku pada mereka bahwa aku dapat mewujudkan mimpi-mimpiku dengan pasti. Sangat tak kusangkakan aku dapat melihat pemandangan yang slama ini hanya ku lihat dilayar kaca. Sungguh seperti mimpi rasanya, baru saja beberapa menit tadi aku sampai di bandara Charles de Gaulle dan duduk di cafe ini. Aku jadi teringat ucapanku dulu, setiap aku melihat Paris.

“pah, mah kelak Paris akan menjadi masa depanku.” Ujarku dengan spontan.

“iya sok nanti ade pergi kesana, belajar yang giat.” Jawab papah sederhana.

“ih si papah mah jawabnya teh meuni singkat, amiin gitu. Nanti ade bawa mamah sama papah kesana.” Mamah menambahkan dengan logat sundanya.

“iya, nanti kita keliling-keliling menikmati indahnya lampu-lampu malam kota Paris.” jawabku dengan senyum semangat.

Ku tersadar dari lamunanku, aku melihat ke luar jendela sana. Dan sekilas aku mendapati wajah orang yang tidak asing lagi di mataku. Saat aku ingin memastikan siapa dia, sayangnya aku tidak dapat melihatnya dengan jelas karena wajahnya hilang ditelan kerumunan orang. Entah mengapa aku merasa, dia adalah orang yang membuat aku bersemangat dalam menjalani hari-hariku dulu.

“Marchell? Apa mungkin dia disini?“ gumamku dalam hati.

“ah jelas saja tidak. Mungkin karena aku belum bisa melupakannya dan masih terngiang – ngiang wajahnya dibenakku.” ucapku meyakinkan.

Waktu tak terasa cepat berlalu, orang-orang yang duduk disekitarku sudah berganti. Langitpun berganti menjadi gelap, lampu-lampu mulai menerangi kegelapan Paris. Segeralah aku meminta bilt2 dan pergi ke apartemen baruku. Sebelumnya telah kusiapkan kamus bahasa perancis, karena aku tidak terlalu fasih dalam berbahasa. Setelah itu, barulah kuhentikan sebuah taxi

“taxi! Bonsoir, deposez-moi a Champ de Mars, je vous prie.” kataku belepotan.

(taksi! selamat malam, tolong antarkan aku ke Champ de Mars)

Saat aku ingin memastikan kalau dia mengerti ucapanku atau tidak, kulihat kerutan yang begitu kusut pada dahi si sopir. Akhirnya ku sadari kalau dia tak mengerti apa yang ku katakan.

“ah payah sekali aku ini, datang ke paris tapi bicara saja belepotan.”

Akhirnya ku coba untuk memberikan alamatku padanya dan berkata dengan sedikit isyarat.

“amenez-moi la, je vous prie.”

(tolong antarkan aku ke alamat ini)

“oh anda mau pergi ke alamat ini, mari saya antar.” Ujar sopir taxi.

“lho kok? Anda bisa berbahasa indonesia?” tanyaku kebingungan.

“tentu saja bisa, dulu saya sempat tinggal di Jakarta.”

“ya ampun, jadi dari tadi aku ngomong susah payah gak ada artinya?” gerutuku dalam hati.

“mari saya antar.”

Dalam perjalanan, ku amati ramainya kota dan indahnya suasana malam hari. Rasanya ingin cepat melihat indahnya lampu-lampu di menara Eiffel dari dekat.

“wow ... betapa indahnya kota ini, lebih dari apa yang aku bayangkan sebelumnya. Dan lampu – lampu itu memiliki nilai seni yang tinggi.” Dengan spontan aku mengucapkannya.

“anda baru pertama kali ke Paris ya?” tanya sopir taxi.

“eh.. bagaimana kau tahu? Ini memang pertama kalinya aku kemari, ternyata jika dilihat lebih dekat ternyata Paris lebih indah dari yang kukira.” jawabku sedikit gugup, kukira ia tak mendengar apa yang ku katakan. Tapi ternyata? Hahaha diam-diam dia dengar yang ku katakan.

“tentu saja saya tahu, semua pelancong selalu mengatakan seperti yang anda katakan.”

Sesaat aku teringat akan seseorang yang kulihat di café. Dalam benakku selalu ku bertanya, mungkinkah dia Marchell?dan berharap aku akan bertemu Marchell kembali. Kejadian 5 tahun lalu masih terukir dalam ingatanku dan 1 hal yang pasti, kejadian itu takkan pernah kulupakan.

“nona, sudah sampai.” Sopir taxi memecahkan keheningan.

“oh… sudah sampai.” Gumamku tersadar dari lamunan, akupun mengeluarkan uang dalam dompet.

merci (terima kasih)

Sesampainya di apartemen, ku mulai ritual para cewe dan berebah di atas kasur yang sangat lembut. Tak lupa, sebelum ku pejamkan mata, kubuka tirai jendela kamarku. Sehingga terlihat menara Eiffel yang bersinar terang. Kesempatan inilah yang tak kudapatkan di Indonesia, karena itulah menatap menara Eiffel dimalam hari adalah salah satu tujuanku kemari. Selalu ku berangan-angan bahwa suatu saat nanti, pangeranku akan membawaku ke suatu tempat yang lebih romantis dibandingkan menara ini. Setelah hatiku puas menatap menara itu, akupun mulai memejamkan mata.

Saat ku terbangun dari tidurku yang lelap,ku dengar kicauan burung yang indah, dan tak ku pungkiri bahwa hari ini adalah hari pertamaku di Paris.

Oh My God!! ini adalah hari pertama ku menimba ilmu di Paris.”

Dari semua yang kusadari, hanya 1 hal yang masih membuatku seperti berada dalam mimpi. 1 hal itu adalah saat aku terbangun dari tidurku, dan disambut oleh keramaian menara Eiffel. Sungguh seperti mimpi, tapi inilah kenyataan yang tak pernah terjamah oleh manusia. Berawal dari mimpi yang menjadi kenyataan. Akupun bergegas mempersiapkan diri dan segeralah aku pergi dengan semangat.

Universitas tempatku mencari ilmu adalah universitas terbaik di Paris, begitu bangganya diriku menjadi salah satu mahasiswi disana. Aku sebagai mahasiswi kedokteran umum disana. Segala fasilitas yang diberikan, sangat menunjang bagi pendidikan para mahasiswanya. Tak pernah ku merasa sebahagia ini sebelumnya, karena aku sangat bangga dengan diriku sendiri yang mendapat beasiswasehingga tidak mengeluarkan biaya sedikitpun.

Disaat senggang menunggu mata kuliah selanjutnya, aku menghabiskan waktuku di cafeteria. Saat itu aku sedang asik dengan laptopku, yang terfokus dengan padatnya tugasku, itulah resiko seorang calon dokter. Tiba-tiba saja seseorang menghampiriku dan berkata

“bonjour, bolehkah saya duduk disini?” Tanya seseorang berbahasa perancis dengan fasih.

“bonjour, silahkan saja.” ujarku dengan tatapan terfokus pada laptop.

Tak sedikitpun ku menoleh padanya, yang kufikirkan hanyalah pekerjaanku saat itu. Sehingga kami sibuk dengan urusan kami masing-masing. Waktu sudah menunjukkan pukul 1.45 siang, itu tandanya mata kuliahku akan segera dimulai. Dengan segera aku meninggalkan cafetaria, tanpa pamit pada seseorang yang duduk di depanku.

Dalam perjalanan menuju ruang kelas, aku baru tersadar bahwa suara orang itu tidak asing di telingaku. Suara itu terasa begitu hangat dan lembut di telingaku, begitu dekat kurasakan. Dalam sekejap kudapat merasakan rasa nyaman berada disisinya. Semua yang kurasakan itu seperti..... seperti.... seperti saat di dekat Marchell dulu.

“Apakah seseorang yang tadi itu Marchell?” tanyaku pada diriku sendiri.

“tentu saja tidak mungkin. Tapi... kemarin di cafe itu, entah mengapa aku yakin bahwa dia itu Marchell. Dan sekarang aku merasa, aku ada di dekat dia. Apa mungkin Marchell di Paris?” berfikir hebat dalam kebingungan.

Selagi berjalan menyusuri lorong kampus, aku masih memikirkan hal itu. Sesampainya di dalam kelas hingga dosen menjelaskan, aku masih tak bisa fokus karena masalah itu.

“entah mengapa, hatiku sangat yakin bahwa dia yg di cafe dan cafetaria adalah orang yang sama. Dan mengapa sulit sekali rasanya menghapus bayang-bayang Marchell dari fikirku?” ku berkata dalam hati.

Sepulang dari kampus, aku mencari udara segar dan kuputuskan untuk mampir ke sungai Rhein. Sesampainya disana, kusapukan pandanganku hingga tak satupun terlewatkan. Kududuk di tepian sungai dan memandang betapa indahnya sungai di Paris. Air yang cerah dan mengkilap menambah keindahan di hari itu. Saat ku menatap jembatan disana, daku teringat akan kisah 5 tahun yang lalu. Saat-saat indah ku memandang Marchell di atas jembatan, yang asik memotret pemandangan alam. Kuingin mengulangi masa-masa dulu, antara aku dan dia dan aku selalu ingin bersamanya setiap saat.

Setelah merasa cukup dengan keelokan sungai Rhein, akupun kembali ke apartemen. Saat itu aku terdiam dalam sepiku, kududuk di depan jendela yang mengarah ke menara Eiffel. Aku teringat akan masa laluku bersama Marchell. Aku sangat mencintainya, sehingga setiap dia ulang tahun aku selalu memberinya ucapan melalui SMS dan selalu menjadi orang pertama yang mengucapkan. Selain itu, saat lebaran maupun tahun baru, tak lupa kukirim ucapan serupa melalui SMS. Akan tetapi dari semua pesan-pesan yang kukirim untuknya, tak pernah sekalipun kudapatkan balasan darinya. Sungguh sakit rasanya, bagaikan teriris oleh pisau tajam. Sampai hari ini aku masih berharap bahwa dia akan menjadi milikku, walaupun cinta memang tak harus memiliki.

Keesokan harinya, ku menunggu jam kuliah di cafetaria. Kuberharap ku akan bertemu dengan seseorang yang kemarin menghampiriku. Jika dia kembali, takkan pernah ku alihkan perhatianku darinya.

“semoga dia kembali, aku takkan lewatkan kesempatan ini.” Ku berharap dalam hati.

Hingga akhirnya waktu kuliahku tiba, dia tak kunjung datang. Beribu sesal yang ku rasakan di hati ini, takkan hilang begitu saja. Tak pernah ku berhenti berharap untuk bertemu dengannya lagi.

Sore hari, aku berjalan-jalan di sekitar menara Eiffel dan berfoto-foto untuk koleksi pribadiku. Menurut orang-orang melihat sun set (matahari terbenam) dari menara Eiffel adalah sesuatu yang paling romantis, pastinya lebih romantis jika bersama pasangan. Walaupun diriku hanya seorang diri, tetap saja tidak mau melewatkan hal itu. Selagi menunggu sun set, aku duduk di taman sekitar.

“huh, betapa malangnya diriku ini, di kota yang romantis ini menyaksikan sun set sendiri.” Gerutuku.

Setiap ku sapukan pandangan, selalu saja pasangan-pasangan yang berdatangan ke kawasan ini.

“ya tuhan, mereka semua membuatku iri.” Ujarku meratapi kesendirian.

Langit sudah mulai sedikit redup, ini menandakan sun set akan segera dimulai dan aku tetaplah dalam kesendirian. Tak sengaja kujatuhkan topiku dan kuambil topi itu.Akan tetapi ... saat aku akan mengambilnya tanganku bersentuhan dengan tangan seseorang diatas topiku. Rasanya dunia berhenti berputar dan jantungku berdegup kencang. Ku rasakan kehangatan itu.... apa mungkin? Apakah itu dia? Marchell kah? Saat ku coba untuk melihatnya jantungku seakan berhenti berdegup, aku sangat gugup dan sesaat diriku tercengang melihatnya.

“kau?” kataku saat mengangkat wajah.

“Ma... Mar... Marchell? Itukah kau?” seruku terkejut.

“Mawar?” balasnya heran. “yap ini aku Marchell.” Marchell mengangguk santai sambil memberi topiku.

Tak terasa tangannya menggenggam tanganku, kurasakan kehangatan yang menjalar keseluruh tubuhku. Sudah lama tak kulihat dia dan merasakan berada disampingnya.

“lihat!! sun set-nya indah bukan?” sahutnya dengan penuh senyuman. “hey! Mawar, kau sukakan? Kenapa kamu ngeliat aku kaya gitu?” katanya sambil mengangkat wajahku.

“ah, tak apa.” Balasku tersenyum lebar. “pastinya, aku suka banget sun set.” Sahutku dengan semangat. “apalagi lihat sun set disamping kamu.” Gumamku perlahan.

“apa? Kamu bilang apa tadi?” tanya Marchell.

“ah tidak.” Jawabku dengan seulas senyum.

“kamu lapar? Bagaimana kalau kita makan di Le Vieux Bistro? Kali ini aku yang bayar deh!” Marchell mengajakku dengan mata yang berbinar-binar.

“baiklah, let’s go!” akupun menarik tangan Marchell.

Melihat sun set di Paris bersamanya adalah mimpiku dimasa lalu, yang sekarang berubah menjadi nyata. Tak pernah kurasakan kebahagiaan, sebahagia hari ini. Tuhaaaann terima kasih kau telah mempertemukannya denganku. Sesampainya di bistro, kamipun bercanda dan berbincang-bincang sejenak.

“tak pernah kusangka kita akan bertemu lagi.”

“itupun tak kuduga kita bertemu di Paris, di menara Eiffel pula! Haha.” Candaku sambil tertawa kecil.

Tak lama, pesananpun datang. Kurasakan hal yang teristimewa saat kita bersama, makan malam yang romantis sekali. Setelah itu Marchell mengantarku pulang, sesampainya di apartement dia mengatakan terima kasih untuk malam yang sempurna ini. Ia mendaratkan tangannya yang besar itu diatas kepalaku, sehingga kepalaku terlihat kecil. Dia usap kepalaku sambil tersenyum lebar.

Mulai dari saat itu kami sering bertemu dan aku merasa lebih dekat dengannya di bandingkan 5 tahun lalu. Tak sengaja ku ucapkan kata bagaimana kabar pacarmu sekarang? Apa dia tidak cemburu kalau kita bersama?. Dan tak ku sangka dia menjawabnya dengan singkat aku sudah tak bersamanya lagi. Seakan dunia berhenti mendengar perkataannya, itupun membuat hatiku menjadi lega. Kami sering menghabiskan waktu bersama di kampus. Karena pada kenyataannya ia adalah seniorku di kampus, hanya saja kita berbeda jurusan.

Disuatu saat ia mengajakku melihat pemandangan di Arc de Triomphe, dia menjelaskan sedikit sejarahnya dengan lancar. Kata-kata yang selalu terngiang-ngiang dalam benakku, saat dia menceritakan kalau di Arc de Triomphe itu terdapat 4 patung besar yang berada di setiap sisi pilarnya. Ku perhatikan dirinya dengan kagum, seakan ku mengingingkan untuk menghabiskan masa tua bersamanya untuk selamanya.

“Mawar, kau baik-baik saja?” Tanya Marchell sambil menatapku dalam-dalam.

“ah… ya aku baik-baik saja.” Balasku meyakinkan.“lihat! Pemandangannya indah sekali bukan. Aku ingin mengambil bebera foto.” Mengalihkan pembicaraan.

“sini biar kuambilkan gambarmu.”

Setelah kami puas berfoto, kamipun pergi ke salah satu resto yang terkenal disana. Saat itu Marchell mengatakan semuanya, alasan mengapa dia meninggalkanku dulu. Satu kata yang tak ku sangka bahwa dia mengatakan cinta padaku. Ternyata sejak dulu dia juga memiliki perasaan yang sama denganku. Tetapi dia tidak dapat memilikiku, karena dia tidak ingin membuatku menangis karena terlarut dalam kenyataan pahit. Kalimat yang membuatku sakit adalah saat dia mengatakan aku tidak mungkin memilikimu saat itu dan selamanya, aku… aku… aku sekarat dan waktuku tak lama lagi. Saat itu jantungku seakan berhenti berdetak, dalam benakku dipenuhi pertanyaan mengapa? dan mengapa?. Lalu Marchell mengatakan aku terkena kanker otak stadium 4 dan menurut dokter waktuku hingga bulan depan. Ku rasakan sakit di dada karena mendengar pernyataannya.

“walaupun kamu hanya punya 1 jam untuk bernafas, aku akan tetap menyayangimu. Dulu.. sekarang.. dan dimasa yang akan dating. Dokter bukanlah seorang yang berkuasa dalam kematian, kamu harus percaya tuhanmu.”

Ku tatap matanya dan ku genggam kedua tangannya. Serasa suasana sekitar mencekam dan merinding bulukunukku saat mengatakan itu.

“sebenarnya aku menyayangimu dan selalu menginginkan untuk berada disisimu. Tapi aku takut karena kapanpun aku dapat pergi meninggalkanmu selamanya.”

“jangan kau ucapkan lagi kata-kata itu, aku tak peduli dengan seberapa lama waktumu untuk bernafas. Kalau memang kamu ingin didekatku selalu, kamu harus berjuang melawan penyakit itu demi aku dan keluargamu.”

Setelah hari itu, aku kehilangan kabar tentangnya. Sebulan sudah kulalui hari-hari dengan tanpanya. Aku tak tahu harus bertanya pada siapa? Aku selalu berharap dia masih ada di dunia ini.Aku mencari tahu tentangnya dan berusaha untuk menanyakan pada semua orang terdekat, namun tak ada hasilnya. Marchell menghilang tanpa kabar dan pengakuannya adalah perkataan terakhir yang aku dengar saat itu. Aku termenung membayangkan kejadian 1 tahun lalu. Pada saat dia meninggalkanku tanpa sebuah alasan, yang terngiang hanyalah kata tinggalkan aku, aku tak bisa menemani hari-harimu selalu. Aku akan pergi untuk melupakanmu dan ku mohon jangan kau cari aku. Lupakan semua kenangan indah tentang kita. jangan kau tanyakan mengapa? Karena inilah yang terbaik. Kata-kata itu yang tidak pernah hilang. Kriiiing…. Kriiing… handphone ku berbunyi.

“halo?” ujarku tak bersemangat.

“mawar, ini aku Marchell.”

Mataku terbelalak dan seakan aku hidup kembali dari kesunyian. Akupun bangun dari sofa dan segera melontarkan beberapa pertanyaan.

“maafkan aku yang tak pernah memberkan kabar selama ini. Mawar aku ingin bertemu denganmu malam ini, bisakah?” Tanya Marchell.

“bisa bisa!” ujarku semangat. “dimana kita akan bertemu?” tanyaku.

“menara Eiffel jam 7 malam, kau tunggu aku di taman tempat kita bertemu dulu.” Marchell menjelaskan.

“Baiklah. Aku akan dating tepat waktu, akan kutunggu kau datang.”

Saat itu aku segera bersiap dan memilih baju yang paling bagus. Jam setengah 7 aku pergi menggunakan taxi. Aku tunggu dia di tempat itu, ku sapukan pandangan ke sekitar dan kudapati dia yang berjalan mandekatiku. Kamipun berbincang-bincang sesaat. Jatuhlah air mataku sekatika saat melihat dia. Marchell mendaratkan tangannya yang besar di wajahku untuk menghapus airmataku. Dan dia mengatakan jangan sekali-sekali kau menangis di hadapanku! Akupun mengangguk memahaminya. Kami duduk di kursi taman yang menghadap ke menara Eiffel, lalu Marchell menceritakan penyakitnya dan mencurahkan seluruh isi hatinya beserta perasaannya padaku. Marchell bersandar di bahuku dank u peluk erat dirinya dengan air mata yang terus mengalir dipipi ku. Saat ku mencoba memanggilnya … dia tak menjawab dan ku dapati dirinya telah tiada, akupun menagis saat itu. Paris adalah kota yang indah sekaligus menyedihkan bagiku.

created by: Nurliani Kusumawardhani




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline