"Apa?" Sontak kau terkejut.
Entah apa yang merasukiku, hingga aku memberanikan diri bercerita semacam ini.
"Tahu gak? Kemarin aku sempat ada pikiran mau mengambil pisau di dapur untuk memuaskan otak jahatku ini," ujarku. "Sepertinya ... menggoreskan sebilah pisau yang tajam menarik juga. Aku jadi pengin nyoba." Aku melanjutkan kalimatku tanpa beban, seolah-olah tidak ada hal berat yang mengganggu pikiran.
Memang benar adanya bahwa kala itu aku sedang kalut. Tak pernah terbayang sebelumnya ketika jiwa ini memaksa untuk menyakiti diri sendiri. Membayangkan aliran merah mengalir dari tubuhku saja membuatku bahagia. Mungkin inilah jalannya.
"Kenapa, Sayang?" Nada bicaranya mulai pelan. Dia mencoba mencerna segenap ceritaku.
"Depresi akut," jawabku singkat, sembari tertawa penuh makna yang membuat kekasih hatiku itu cemas.
Akhir-akhir ini emosiku sering tak terkendali. Aku takut kalau sampai tanganku juga ikut aktif. Dalam hati, aku memiliki keinginan-keinginan ekstrim yang kalau dilakukan bakal aku sesali. Misalnya, menjambak rambutku kuat-kuat atau membenturkan kepalaku di tembok.
Kira-kira ... sakit apa nggak, ya? Pikiranku kian kacau. Pengendalian diriku juga tak kalah semrawut. Aku takut kalau sampai kehilangan kontrol saat sisi sentimen dalam diri membumbung tinggi.
Sebagai seorang ibu rumah tangga dengan seorang balita yang mulai bergerak sesuka hati, memang dituntut untuk pandai membawa diri, juga mampu mengendalikan emosi. Sebab, salah pengasuhan akan menyebabkan luka. Hal itu yang sangat ditakuti.
Bagaimana bisa aku mendidik anak dengan benar kalau aku masih belum selesai dengan diri sendiri? Aku membatin. Kemelut di hati makin menumpuk. Sehingga, tanpa disadari, perasaan rendah diri serta kemauan untuk menyakiti diri makin menguat.